REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap solid mencapai target 5,2 persen pada 2024.
“Target tahun ini masih 5,2 persen, masih optimis. Meskipun cuaca hujan dan agak gelap, tapi Indonesia terang sendiri,” kata Menko Airlangga dalam konferensi pers Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2023 di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,05 persen secara kumulatif (c-to-c) sepanjang 2023. Secara tahunan, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,04 persen (yoy) dihitung dari kuartal IV 2022.
Menurut Airlangga, pencapaian kinerja ekonomi tahun ini melampaui proyeksi sebelumnya yang mencatat ekonomi Indonesia sebesar 5,03 persen pada 2023. Dengan kinerja tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Airlangga mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif lebih tinggi dengan inflasi yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Dari segi pertumbuhan ekonomi, Indonesia mengungguli Malaysia (3,77 persen), Meksiko (3,10 persen), dan Spanyol (2,50 persen).
Namun masih berada di bawah China (5,20 persen), Filipina (5,57 persen) dan Uzbekistan (6 persen). Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tercatat 5,05 persen sejajar dengan Vietnam yang juga mencatatkan angka yang sama.
Kemudian, dari sisi pengendalian inflasi, Indonesia juga tercatat lebih stabil dibandingkan negara lain seperti Korea Selatan (3,2 persen), Jerman (3,7 persen), bahkan Rusia (7,42 persen).
"Dari segi pengendalian inflasi, Indonesia juga lebih baik di mana Indonesia bisa menahan inflasi di angka 2,61 persen. Sehingga inflasi kita itu sebagai top lima. Di atas kita Jepang, Arab Saudi, Italia dan China," kata Airlangga.
Dengan kebijakan yang berlaku saat ini, lanjut Airlangga, hingga 2025 Dana Moneter Internasional (IMF) masih mempertahankan proyeksi ekonominya terhadap Indonesia di level 5 persen. Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh di kisaran 4,9-5 persen, sedangkan OECD 5,2 persen.
Kendati demikian, Menko Airlangga tetap mewanti-wanti adanya risiko global yang dapat memengaruhi perekonomian nasional.
Beberapa risiko di antaranya semakin meningkatnya tensi geopolitik, pelemahan ekonomi China, volatilitas harga komoditas. “Pengetatan moneter dan juga dengan tingkat suku bunga tinggi untuk masa yang lebih panjang, atau yang sering dikatakan dengan higher for longer,” kata Menko Airlangga.
Selain itu, fragmentasi ekonomi sebagai hasil dari meningkatnya tensi geopolitik beserta krisis perubahan iklim juga turut menjadi risiko yang perlu diwaspadai Indonesia ke depan.