REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Sebuah studi baru-baru ini di Turki mengungkap bahwa Generasi Z atau Gen Z paling tinggi berpartisipasi dalam memboikot merek-merek yang mendukung Israel. Persentasenya adalah sebanyak 50 persen.
Studi komprehensif itu dilakukan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Istanbul, Departemen Pemasaran yang dipimpin oleh Pofesor Süphan Nasir dan asisten peneliti Merve Kır. Menurut laporan tersebut, dari 1.384 tanggapan valid dari total 1.545 peserta, 50 persen Generasi Z secara aktif atau sebagian memboikot merek yang ditargetkan.
"Sementara Generasi Y menunjukkan tingkat partisipasi sebesar 40 persen. Sebaliknya, partisipasi Generasi X dan Baby Boomers berkisar 20 persen," kata Nasir seperti dikutip dari Daily Sabah, Senin (22/1/2024).
Berdasarkan analisis, Generasi Z merasa senang dengan ikut serta dalam aksi boikot tersebut, dan mereka bersedia membayar ekstra untuk alternatif lain jika hal itu berarti menghindari merek yang ikut dalam boikot tersebut. Namun tercatat daya beli Generasi Z tidak sekuat generasi lainnya.
Evaluasi tersebut menekankan perlunya mengenali peran dominan Generasi Z dalam perilaku konsumen di masa depan. Penilaian tersebut menyatakan, Generasi Z menunjukkan lebih banyak partisipasi dalam boikot dibandingkan generasi lainnya.
"Semangat aktivis Generasi Z menunjukkan bahwa mereka tidak akan melupakan merek-merek yang terlibat dalam boikot, dan persepsi serta sikap Generasi Z terhadap merek-merek tersebut mungkin negatif. berdampak pada periode mendatang," tulis laporan tersebut.
Nasir juga menjelaskan kepada Anadolu Agency (AA) bahwa mereka melakukan penelitian ekstensif karena tradisi boikot tidak berakar kuat dalam budaya Turki.
Nasir menyoroti bahwa keragaman merek yang diboikot dan kurangnya organisasi yang efektif mengakibatkan rendahnya partisipasi, memperkirakan bahwa hanya sekitar 30 persen yang secara aktif terlibat dalam boikot karena loyalitas merek yang tinggi dan kebingungan konsumen yang disebabkan oleh banyaknya daftar boikot.
Mengenai keberhasilan boikot, Nasir menekankan pentingnya memberikan alasan konkrit untuk memboikot suatu merek, mencontohkan merek pakaian Spanyol yang berhasil menghadapi boikot setelah konsumen menemukan alasan tertentu melalui kampanye komunikasi.
Profesor tersebut menyatakan bahwa warga mencari informasi tentang "merek Israel dan merek yang diboikot" melalui mesin pencari, yang menunjukkan keinginan untuk mendapatkan pembenaran yang jelas. Ia menekankan, semakin kuat alasan boikot, semakin kuat boikot terhadap merek dan produk tersebut. Keberhasilan boikot secara langsung berkaitan dengan seberapa jelas kerangka boikot tersebut didefinisikan.
"Sebanyak 45 persen peserta percaya boikot tidak akan memberikan solusi terhadap kejadian di Gaza, sementara 35 persen merasa boikot tidak diorganisir secara efektif," ungkapnya.
Dia pun menyimpulkan bahwa 80 persen peserta memiliki keyakinan yang rendah terhadap keberhasilan boikot tersebut, dan mereka yang berpartisipasi secara aktif termotivasi oleh keinginan untuk berkontribusi dan menunjukkan perlawanan, yang bertujuan untuk memberikan tekanan finansial pada merek-merek yang mendukung Israel.
Nasir juga mencatat bahwa penelusuran kata kunci "Israel" dan "boikot" di laman "Google Trends" berfluktuasi pada waktu yang berbeda, dengan periode aktivitas penelusuran tinggi dan rendah.
"Selama periode gencatan senjata, kami melihat penurunan boikot. Namun, ketika serangan kembali terjadi setelah gencatan senjata, kami mengamati peningkatan pesat dalam penelusuran," kata dia.
Bahkan 70 persen peserta mengatakan bahwa mereka bergabung dengan boikot karena merasa senang dengan hal tersebut. diri mereka sendiri dan melakukan sesuatu untuk kemanusiaan.
”Kami melihat peningkatan signifikan dalam pencarian selama periode ketika intensitas serangan ini meningkat, terutama ketika berita tentang korban di rumah sakit dan anak-anak semakin banyak terdengar,” tambah Nasir.
Membahas apakah mereka yang berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam boikot merasa keengganan ketika menggunakan merek yang diboikot, Nasır menyebutkan, "Mereka yang tidak berpartisipasi dalam boikot bukanlah orang yang acuh; mereka sensitif dan sedih dengan kejadian tersebut. Namun, mereka menahan diri untuk berpartisipasi karena mereka percaya bahwa tidak berpartisipasi tidak akan mengubah keadaan."
“Oleh karena itu, mereka tidak segan-segan terlihat menggunakan merek yang diboikot. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa mereka yang ikut memboikot tidak merasa tertekan saat menggunakan produk tersebut,” jelas Nasir.