Senin 22 Jan 2024 02:10 WIB

PHRI Ajukan Judicial Review Ketetapan Pajak Hiburan

PHRI minta pasal yang menetapkan besaran pajak 40-75 persen dihapuskan.

Pengunjung menyanyi di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung menyanyi di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan akan mengajukan judicial review terkait ketetapan pajak hiburan yang kini memiliki kisaran 40-75 persen.

Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Keanggotaan Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI Yuno Abeta Lahay mengatakan, pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) ini, karena banyak tempat hiburan yang melekat pada hotel dan restoran.

Baca Juga

"Kami sedang melakukan langkah hukum judicial review dan dalam waktu dekat diajukan meski beberapa daerah telah mengeluarkan perda. Kemarin juga telah ada diskusi dengan Kemenparekraf, tapi ini kami rasa kurang tepat, harusnya dilibatkan juga Kemenkeu dan Kemendagri," kata Yuno, di Bandung, Jawa Barat (Jabar), baru-baru ini.

Adapun isi judicial review tersebut, kata Yuno, berbeda dengan gugatan yang dilayangkan Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI). PHRI meminta pasal yang menetapkan besaran pajak 40 sampai 75 persen dihapuskan.

"Karena pasal sebelumnya sudah ada yaitu 10 persen, jadi kami minta dikembalikan ke sana saja," ujarnya.

Yuno mengatakan dengan besaran tarif pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen untuk hiburan khusus yang tergolong sebagai objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) itu, telah memunculkan kekhawatiran dari para pelaku usaha, termasuk di Jawa Barat, mengingat sektor hiburan merupakan penunjang pariwisata.

"Industri hiburan adalah kolaborasi. Hiburan dan kawan-kawannya itu kan penunjang pariwisata, kekhawatiran ini mulai terasa, Mbak Inul (Daratista) sudah menyampaikan kunjungan sudah dirasa turun. Kami memang dari seluruh stakeholder pariwisata menganggap ada satu bagian bahwa entertainment lifestyle di situ, terhambat dan itu otomatis mengganggu keseluruhan bisnis pariwisata," ungkap Yuno menjelaskan.

Saat ini, kata dia lagi, di Jabar baru ada satu daerah yang sudah menetapkan tarif pajak hiburan 50 persen. 

PHRI juga, kata Yuno, memberikan dorongan pada pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dalam Rakerda PHRI Jabar agar lebih peduli terhadap hal tersebut, meski pemerintah daerah memiliki keterbatasan karena mereka merupakan pelaksana undang-undang. "Kami paham pemprov punya keterbatasan karena ini amanat undang-undang dan musti dieksekusi, jadi kami paham tapi saya yakin dengan mengutip ucapan Menteri Parekraf semalam bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam dan kami percaya akan hal itu," ujarnya.

Pajak hiburan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Diketahui, pajak hiburan menjadi salah satu penopang penerimaan pajak di daerah. Dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Jumat (15/12/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pajak daerah tumbuh terutama didorong oleh peningkatan realisasi pajak dari sektor ekonomi yang bersifat konsumtif seperti pajak hotel, hiburan, restoran, dan parkir.

Adapun penerimaan pajak daerah hingga November 2023 tercatat sebesar Rp 212,26 triliun atau tumbuh 3,8 persen secara tahunan dari sebelumnya Rp 204,51 triliun.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement