REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah pusat saat ini sudah menetapkan batas tarif baru untuk pajak hiburan tertentu yang saat ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji mengungkapkan regulasi tersebut tidak ada mekanisme dana bagi hasil ke pusat.
"Jadi ini murni revenue bagi pemerintah kabupaten atau kota terkai," kata Bawono kepada Republika, Sabtu (20/1/2024).
Dia menjelaskan, aturan tersebut secara umum tidak akan berdampak besar kepada pendapatan daerah. Sebab, lanjut Bawono, proporsi pajak hiburan terhadap total pajak daerah angkanya pada kisaran dua persen.
"Namun demikian, ini juga perlu melihat karakteristik masing-masing daerah semisal daerah yang bertumpu bagi pariwisata dan sebagainya," ucap Bawono.
Selain itu, Bawono menuturkan, jika melihat secara historis hubungan antara pajak daerah dan pertumbuhan PDRB sangat berkaitan erat.
"Tax buoyancy pajak daerah yaitu seberapa elastis pertumbuhan PDRB terhadap pertumbuhan penerimaan pajak itu rata2 bisa di atas 1,2 persen," ucap Bawono.
Artinya, kata dia, jika pertumbuhan PDRB satu persen bisa meningkatkan penerimaan pajak lebih dari 1,2 persen. Dengan kata lain, Bawono menyebut, jauh lebih baik dari tax buoyancy pajak pusat.
"Artinya apa? Bagi pemda pilihan terbaik adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas usaha karena akan berdampak positif bagi penerimaan. Jadi paradigma di daerah sebaiknya justru menciptakan pertumbuhan dan memberikan ruang gerak aktivitas ekonomi," jelas Bawono.
Dengan adanya ketetapan batas baru untuk tarif pajak hiburan tertentu, saat ini pemerintah daerah harus menetapkan pajak hiburan tertentu sesuai dengan kaidah batu. Usaha hiburan yang terdampak tarif baru pajak yaitu jasa hiburan karaoke, diskotek, kelab malam, bar, dan spa.
Dalam aturan tersebut disebutkan, pemerintah daerah diberikan waktu dia tahun sejak diundangkan untuk menyesuaikan peraturan daerahnya. UU HKPD sejatinya dirumuskan untuk mendukung tata kelola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang adil, selaras, dan akuntabel. Selain itu, beleid ini juga menjadi upaya untuk menata perkembangan desentralisasi fiskal serta mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.
Terkait PBJT untuk jasa kesenian dan hiburan, diberlakukan adanya pengaturan tarif yang seragam. Hal itu untuk menata batas atas dan bawah dari penarikan pajak jasa tersebut. Secara umum, PBJT jasa kesenian dan hiburan yang sebelumnya diatur paling tinggi sebesar 35 persen, kini justru menjadi hanya paling tinggi 10 persen.
Bahkan, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pemerintah juga memberikan pengecualian bagi jasa kesenian dan hiburan promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. Itu, kata dia, menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah.
“PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah jenis pajak baru. Sudah ada sejak Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)," ujarnya dalam Media Briefing di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (16/1/2024).