REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejumlah ekonom meramalkan Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate bulan ini. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan BI masih berpotensi mempertahankan suku bunganya pada level enam persen.
"Belum ada faktor yang membuat BI harus menurunkan suku bunga saat ini," kata Bhima kepada Republika.co.id, Rabu (17/1/2024).
Dia menuturkan, ketidakpastian geopolitik yang tinggi di Timur Tengah, risiko selat Taiwan yang meningkat, hingga The Fed yang belum putuskan penurunan bunga acuan dalam waktu dekat. Jika Fed Funds Rate akan dipangkas, Bhima menyebut proyeksinya baru akan terjadi pada kuartal II 2024.
"BI mau tidak mau harus jaga spread yang lebar antara FFR dan suku bunga acuan BI," ucap Bhima.
Jika BI terburu-buru menurunkan bunga acuan, dikhawatirkan capital outflow terutama di pasar surat utang akan mengguncang rupiah. Sementara rupiah, lanjut Bhima, masih wajib stabil di tengah momen pemilihan umum (pemilu) saat ini.
Sementara itu, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengatakan rupiah tercatat sekitar Ro 15,550 per dolar AS yang sedikit terdepresiasi sebesar 1,06 persen secara year to date sejak awal tahun.
Dibandingkan mata uang negara peers, Riefky mengatakan rupiah cenderung melemah dibandingkan rubel Rusia, rupee India, lira Brasil, peso Filipina, dan peso Argentina namun rupiah cenderung stabil di beberapa minggu terakhir dan jumlah cadangan devisa saat ini relatif cukup untuk meminimumkan potensi tekanan terhadap rupiah apabila dibutuhkan.
Riefky menjelaskan, Indonesia memasuki 2024 dengan capaian positif di beberapa aspek. Inflasi cenderung terjaga selama 2023 di tengah tekanan harga pangan akibat El Nino.
Lebih lanjut, Riefky mengatakan neraca perdagangan secara konsisten mencatatkan surplus di tengah perlambatan harga komoditas dan permintaan global. Di sisi lain, ekspektasi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga acuannya pada kuartal I 2024 meningkat dan mendorong berlanjutnya arus modal masuk ke Indonesia, walaupun melambat di beberapa pekan terakhir.
"Dengan rupiah yang sedikit melemah sejak awal tahun dan inflasi yang tidak menjadi isu saat ini, kami berpandangan pemotongan suku bunga acuan yang terlalu dini bukan langkah yang tepat diambil oleh BI karena berpotensi memberi tekanan pada rupiah," ujar Riefky.
Riefky mengungkapkan, BI perlu mengatur waktu penurunan tingkat suku bunga acuan dengan mengacu pada keputusan The Fed. Oleh karena itu, pada Rapat Dewan Gubernur pertamanya setelah mengganti nama BI 7-Days Reverse Repo Rate menjadi BI Rate, BI perlu menahan suku bunga acuannya di enam persen pada bulan ini.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan pada pekan kedua Januari 2024, rupiah cenderung bergerak sideways pada kisaran Rp 15.400 hingga Rp 15.600 per dolar AS. Josua memperkirakan BI akan mulai memangkas suku bunga acuan pada paruh kedua 2024.
"Mengingat perkembangan terakhir baik dari sisi global maupun domestik, kami memperkirakan bahwa BI akan mempertahankan suku bunga BI rate di level enam persen pada RDG bulan Januari 2024 ini," ujar Josua.
Josua menuturkan. Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk menurunkan BI Rate pada paruh kedua 2024. Hal tersebut bagian dari sikap hati-hati terhadap kebijakan The Fed terkait penurunan suku bunga pada 2024, ditambah dengan risiko inflasi domestik yang sedang berlangsung di paruh pertama tahun ini akibat El Nino.
"Oleh karena itu, kami terus mempertahankan perkiraan kami bahwa BI Rate akan berada di level 5,5 persen pada akhir 2024," ujar Josua.