REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan izin impor bawang putih yang diterbitkan Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian melalui Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) pada 2023 mencapai 2 kali lipat dari jumlah yang telah ditetapkan.
“Tahun 2023 itu ditetapkan 560 ribu ton jumlah bawang putih yang diimpor tapi RIPH-nya 1,2 juta, hampir dua kali lipatnya. Ya memang tidak harus sama tetapi kalau jumlahnya seperti ini pasti akan mengakibatkan permasalahan, rebutan SPI (Surat Persetujuan Impor),” kata Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika saat menyampaikan keterangan kepada media secara daring di Gedung Ombudsman RI Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Banyaknya RIPH yang diterbitkan Kementan itu, dinilai Ombudsman sebagai penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan RIPH bawang putih yang tidak berdasarkan rencana impor bawang putih yang telah ditetapkan pemerintah melalui Rapat Koordinasi Terbatas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
“Dalam pengabdian kewajiban hukum dalam harmonisasi peraturan terkait penerbitan dan pelaksanaan impor dengan peraturan di bidang kekarantinaan dan perizinan impor di dalam tahap kebijakan, kami melihat ada dugaan (maladministrasi) di situ gitu,” ucapnya.
Yeka menyampaikan tim Ombudsman di lapangan juga menemukan bahwa pelaku usaha dikenakan pungutan liar dalam penerbitan RIPH. Besaran pungutan bervariatif berkisar Rp 200-Rp250 per kg dari besaran RIPH yang ingin diterbitkan.
“Kalau RIPH misalnya mendapat kuota 6.000 kg dan SPI 1.000 kg, tetap pungutannya ke 6.000 kg sesuai RIPH bukan besaran impor,” ucap Yeka.
Berdasarkan temuan tersebut, Ombudsman menyimpulkan ada potensi maladministrasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Hortikultura (Ditjen Hortikultura) Kementan dalam tahap penerbitan.
Potensi maladministrasi tersebut adalah adanya pengabaian kewajiban hukum dalam validasi berkas permohonan RIPH bawang putih, adanya pengabaian kewajiban hukum dalam pengawasan permintaan imbalan atau pungutan liar penerbitan bawang putih, serta tidak memberikan pelayanan dalam pengetatan penerbitan dari izin impor bawang putih bagi perusahaan baru.
Selain itu, Ombudsman juga menduga ada tindakan maladministrasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Hortikultura dalam tahap pelaksanaan wajib tanam. Sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 46 tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis, importir wajib menanam 5 persen dari total pengajuan impor.
Namun, Ombudsman mendapati adanya ketidaksesuaian antara komitmen wajib tanam dan realisasi wajib tanam bawang putih yang dilakukan importir. Termasuk adanya anggota fiktif pada kelompok tani pelaksana wajib tanam bawang putih.
Oleh karena itu, Ombudsman menduga Direktorat Jenderal Hortikultura melakukan tindakan maladministrasi dari sisi tahap kebijakan karena tidak memberikan pelayanan optimal dalam pengawasan wajib tanam bawang putih dalam negeri akibat kebijakan wajib tanam pasca terbitnya persetujuan impor.
“Kami akan fokus terhadap dua hal. Mendalami adanya dugaan pengabaian kewajiban hukum dalam pengawasan kesesuaian luasan dan lokasi realisasi wajib tanam dan adanya pengabaian kewajiban hukum dalam validasi laporan realisasi wajib tanam,” tutur Yeka.
Sebagai tindak lanjut temuan, Ombudsman akan melakukan pemeriksaan terhadap Sekretaris Ditjen Hortikultura dan Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura selaku pihak yang melakukan verifikasi dan validasi persyaratan permohonan RIPH pada Rabu (17/1).
Kemudian dilanjutkan dengan pemanggilan Dirjen Hortikultura dan Direktur Perlindungan Hortikultura selaku pejabat yang bertanggung jawab melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan hortikultura pada Kamis (18/1).