REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan boikot produk pro Israel yang terjadi secara masif diakui memang dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hanya saja, fenomena pengangguran yang terjadi diyakini pula bisa terjadi teratasi dengan meningkatnya produk lokal yang membutuhkan tambahan sumber daya manusia baru.
Peneliti Junior dari Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas) Shofie menjelaskan, penurunan penjualan yang terjadi dalam waktu singkat sangat bisa menyebabkan PHK. Ini terjadi bila pendapatan kurang dari biaya yang harus dikeluarkan.
“Terlebih, jika perusahaan tidak mau mengeluarkan biaya modal untuk membayar gaji karyawan, pasti dampaknya memang ke karyawan terlebih dahulu untuk mengurangi biaya,” kata Shofie kepada Republika.co.id, Selasa (5/12/2023).
Shofie menuturkan, ia menjadi pihak yang pro terhadap gerakan boikot sebagai langkah untuk menekan Israel melalui para pendukungan. Namun, ia juga tak menampik dampak ekonomi dari gerakan boikot adalah terjadinya PHK.
Itu salah satunya bisa dilihat dari jaringan kedai kopi dasal Amerika Serikat, Starbucks serta outlet merek pakaian asal Swedia H&M yang telah menarik diri dari Maroko pada Desember 2023. Hengkangnya dua produk tersebut dikaitkan erat dengan gelombang boikot produk pro Israel yang dinilai dekat dengan Israel.
Shofie menilai, langkah itu menjadi salah satu contoh dampak potensi PHK bila boikot dilakukan secara masif.
Hanya saja, Shofie menjelaskan, permintaan konsumen terhadap jenis produk yang diboikot tidak akan berkurang. Sebab, secara langsung konsumen pasti akan mencari alternatif produk lain yang dinilai tidak terafiliasi dengan Israel.
“Sehingga, dalam jangka menengah fenomena pengangguran yang terjadi akibat PHK ini bisa teratasi dengan meningkatnya produk lokal yang pastinya membutuhkan SDM baru untuk memenuhi permintaan konsumen,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat menilai pengusaha terlalu berlebihan soal kekhawatiran boikot produk pro Israel yang bisa menyebabkan pemutusan hubungan kerja. Dirinya menilai, sebelum ada gerakan boikot, PHK selalu terjadi dan dapat dilakukan dengan mudah.
“Saya melihat ini terlalu berlebihan apa yang dikhawatirkan para pengusaha terkait aksi boikot. Sepertinya kayak ancaman, mau ada boikot atau tidak PHK itu pasti terjadi dan sudah berlangsung lama,” kata Mirah kepada Republika.co.id, Selasa (5/12/2023).
Mirah menegaskan, selama ini gerakan boikot secara masif hanya terjadi pada situasi tertentu dan tidak berlangsung dalam waktu tahunan. Semestinya, pengusaha tak perlu khawatir hingga menganggap perlu melakukan PHK akibat adanya boikot.
Jauh sebelum adanya isu boikot produk pro-Israel, menurut Mirah, buruh Indonesia justru sudah mengalami PHK. Bahkan, pemutusan kerja bisa dilakukan dengan mudah dan murah. Ia menekankan, hal itu justru terjadi imbas kebijakan adanya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang membuka ruang luas bagi pemilik usaha melakukan PHK.
“Jadi, janganlah mengkambinghitamkan isu pemboikotan terhadap produk yang terafiliasi, pengusaha mau melaukan PHK hanya gara-gara ada boikot. Jadi, jangan mendompleng, lah,” ujarnya.