REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, perhutanan sosial yang merupakan proyek strategis nasional. Program ini berjalan lambat akibat pemangkasan anggaran sebesar 35 persen selama masa pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir tiga tahun.
"Pemotongan anggaran operasional perhutanan sosial tersebut dilakukan karena pemerintah saat itu fokus terhadap sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi," kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto dikutip Antara.
Menurutnya, sebelum pandemi pada 2017 hingga 2020, anggaran untuk perhutanan sosial antara 700 ribu hektare sampai 1 juta hektare yang membuat realisasi perhutanan sosial bisa mencapai 4,9 juta hektare dalam kurun waktu empat tahun. Ketika pandemi, target perhutanan sosial menurun menjadi 250 ribu hektare. Bahkan, tahun ini hanya 150 ribu hektare.
"Walaupun target 150 ribu hektare, tetapi sekarang sudah 750 ribu hektare," ujar Bambang.
Dia mengungkapkan, realisasi yang cukup besar itu bisa tercapai karena perhutanan sosial bukan hanya program KLHK saja, tetapi juga multipihak. "Perhutanan sosial adalah governance. Para pihak sudah mulai masuk," ucap Bambang.
Salah satu dukungan multipihak datang dari Kementerian Dalam Negeri melalui regulasi yang menempatkan perhutanan sosial sebagai program untuk mengentaskan kemiskinan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Sekarang urusan hutan konservasi berada di Pemerintah Pusat, sedangkan urusan hutan lindung dan hutan produksi berada di pemerintah daerah. Dulu yang menjadi hambatan adalah pejabat daerah yang tidak mau bekerja karena tidak ada regulasi, tetapi sekarang regulasinya sudah dibuat dan bisa mempercepat realisasi persetujuan perhutanan sosial.
Bambang mengungkapkan, Papua memiliki target perhutanan sosial sebanyak 3,3 juta hektare dan mendorong pemanfaatan dana otonomi khusus untuk merampungkan program perhutanan sosial di wilayah tersebut. Selain dana otonomi khusus, strategi percepatan realisasi perhutanan sosial juga menggunakan dana para pihak termasuk dari result based payment (RBP). KLHK sudah memakai dana dari green climate fund (GCF) untuk kerja bersama merampungkan target perhutanan sosial.
"Saya sudah menurunkan 161 tim ke seluruh Indonesia, termasuk di Papua pakai dana GCF dari result based payment. Dengan distribusi akses dan pendampingan nanti ujungnya adalah kesuksesan untuk perhutanan sosial berupa ekonomi, sosial, dan ekologi, termasuk tutupan lahan juga bagus," kata Bambang.
"Dana Norwegia juga akan kami pakai untuk memberikan insentif dalam konteks integrated area development. Jadi, saya optimistis 8 juta hektare itu sampai 2024, kekurangan 4,7 juta hektare diharapkan bisa diselesaikan oleh pemerintahan baru," ujar dia.