Kamis 16 Nov 2023 07:48 WIB

Asosiasi Tagih Komitmen Pemerintah Bayar Utang Potongan Harga Minyak Goreng

Menurutnya, belum ada niat baik dari pemerintah untuk menyelesaikan utang itu.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ahmad Fikri Noor
Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) menggelar konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/11/2023).
Foto: Republika/Iit Septyaningsih
Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) menggelar konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyatakan, pemerintah belum melunasi utang program minyak goreng satu harga yang melibatkan pelaku ritel modern. Ia mengungkapkan, sampai sekarang belum ada niat baik dari pemerintah untuk menyelesaikan utang itu.

Perlu diketahui, dalam program minyak goreng satu harga, ritel modern diwajibkan melakukan rafaksi atau pemotongan harga minyak goreng. Bahkan, kata pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) seperti mendiamkan utang tersebut.

Baca Juga

"Sampai hari ini, tanggal 15 November, Aprindo belum mendapatkan langkah-langkah konkret dan nyata dari pemerintah untuk niat menyelesaikan rafaksi minyak goreng. Malah, kami melihat justru niat itu mungkin sudah pupus," ujar Roy, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/11/2023).

Maka, sambungnya, Aprindo akan mengambil langkah hukum terkait masalah itu. Asosiasi bakal menggandeng produsen guna mengambil langkah ini.

"Belum satu bulan ini, masih hangat Oktober 2023, kami sudah dapat dukungan produsen karena produsen punya masalah sama. Mereka melakukan penjualan harga minyak goreng yang rendah kepada ritel dan pasar tradisional," jelas dia.

Roy menyebutkan, berdasarkan data Aprindo, ada 31 perusahaan ritel modern yang belum mendapat penggantian rafaksi minyak goreng. Kini, sambung dia, kuasa hukum dari kedua pihak tengah berdiskusi secara internal. 

"Apakah kita melaporkan ke Bareskrim, Mabes maksudnya. Apakah kita somasi, ini tengah dibicarakan antarkuasa hukum," tuturnya.

Dirinya mengatakan, langkah hukum tersebut akan dilakukan tahun ini. Baginya, ini bukan bermaksud meminta uang negara karena, dana untuk membayar utang rafaksi bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai informasi, utang rafaksi pemerintah ke peritel sekitar Rp 344 miliar. 

"Kita tidak minta uang negara, itu bukan uang APBN, bukan uang Kemendag, bukan uang siapa pun. Itu uang pelaku usaha yang menyetorkan 50 dolar AS per metrik ton, dan dananya itu BPDPKS itu masih ada. Bahkan pas ditanya, segera minta ke Kemendag, diperiksa sama BPK, dananya kenapa tidak keluar-keluar?" kata Roy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement