Kamis 02 Nov 2023 16:19 WIB

Perjalanan Mama Sariat Tole, Seniman Kain Tenun Ikat Alor Berkualitas Ekspor

LPEI menggandeng Mama Sariat jadi mentor untuk penenun-penenun di Pulau Alor.

LPEI menggandeng Mama Sariat jadi mentor untuk penenun-penenun di Pulau Alor.
Foto: dok LPEI
LPEI menggandeng Mama Sariat jadi mentor untuk penenun-penenun di Pulau Alor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di pedalaman Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), terdapat kampung kecil bernama Kampung Hula yang memiliki seni kain tenun ikat yang kaya akan tradisi dan keunikan. Di kampung tersebut, tinggal Mama Sariat Tole, seorang wanita yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk melestarikan dan memajukan seni tenun ikat khas Pulau Alor.

Mama Sariat, dengan kemahiran dan tangan berbakatnya, tidak pernah berhenti berusaha untuk melestarikan dan memajukan warisan seni tenun ikat khas Pulau Alor. Dalam karya seninya, ia menghadirkan kain tenun ikat dengan benang kapas, pewarna alami dan motif yang sangat khas. Kain tenun ikat Mama Sariat begitu istimewa karena dari tangan mahirnya, Mama Sariat menciptakan sendiri benang kapas dan pewarna alami yang tersedia dari kekayaan alam tempat kelahirannya.

Baca Juga

Ketika Mama Sariat berusia lima tahun, ibunya, Mama Peni, mulai mengajarkan seni tenun kepadanya. Sejak saat itu, Mama Sariat terus mengembangkan keahlian dan menghasilkan inovasi dalam menjaga kualitas tenun ikat Alor. Salah satu inovasi itu adalah penggunaan benang kapas berkualitas tinggi yang berasal dari pohon kapas yang beliau tanam sendiri di kebun di belakang rumahnya dan dipintal menjadi benang dengan peralatan tradisional.

Untuk memastikan kain tenun ikat Alor memiliki warna khas, tahan lama dan berkualitas, Mama Sariat tidak menggunakan bahan pewarna kimia. Sebaliknya, ia dengan telaten mengolah pewarna alami dari bahan-bahan yang ditemukan di alam sekitarnya. Seperti tinta cumi, rumput laut, getah jambu mete, daun kelor, nila, pinang, kunyit, akar mengkudu, dan banyak lagi.

Proses pewarnaan benang ini memakan waktu beberapa pekan, dengan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Ketelatenan Mama Sariat dengan pewarna alami ini membuahkan hasil yang luar biasa. Pada 2013, Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat Mama Sariat sebagai pembuat warna alami terbanyak untuk kain tenun karena telah menciptakan lebih dari 200 pewarna alami untuk tenun ikat Alor.

"Benang kapas yang saya tanam sendiri menghasilkan benang pintalan yang kuat dan tebal, jauh lebih disukai oleh konsumen luar negeri, terutama di Jepang yang mencari kain dengan warna alami dan daya tahan yang baik. Kualitas benang dan warna benang yang sempurna akan memudahkan penenun menghasilkan kain tenun berkualitas sesuai motif yang diinginkan," kata Mama Sariat yang juga sebagai Ketua Kelompok Tenun Gunung Mako.

Prestasinya yang mengesankan tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Ia telah diundang untuk memamerkan karyanya di 13 negara, termasuk Jepang danBelanda. Mama Sariat telah memberikan kontribusi besar dalam melestarikan budaya tenun ikat Alor.

Saat ini, Mama Sariat telah menjalani peran baru. Ia tidak hanya menenun, tetapi juga berbagi pengetahuannya kepada penenun lain, termasuk generasi muda. Mama Sariat Toleadalah contoh nyata dari seorang pelestari budaya yang berdedikasi dan seorang seniman yang membawa kehidupan ke dalam karya seni tangan yang luar biasa.

"Dengan kualitas dan pewarna alami yang luar biasa, serta semangatnya dalam membagikan pengetahuannya, Mama Sariat adalah harta berharga bagi dunia seni tenun ikat Alor dan NTT. Oleh karena itu, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memberdayakan Mama Sariat sebagai mentor untuk mendampingi penenun-penenun di Pulau Alor dan sekitarnya dalam penggunaan pewarna alami dan benang alami, sehingga kualitas yang dihasilkan menjadi lebih baik dan lebih halus," kata Anggi Kurniawan, Eksekutif Divisi.

Mengusung semangat kolaborasi #KemenkeuSatu, LPEI, PT SMI dan Pemda NTT memberikan pendampingan dan pelatihan kepada cluster Desa Devisa Tenun yang terdiri dari 495 orang penenun yang mayoritas sebagian besar adalah perempuan di 22 desa di Nusa Tenggara Timur. LPEI/Indonesia Eximbank bersama stakeholder terkait berperan sebagai inkubator dan akselerator ekspor untuk klaster tenun NTT.

"Kolaborasi ini menciptakan sinergi antara pelestari budaya dan upaya memajukan ekonomi NTT. LPEI membantu para penenun NTT untuk memperluas akses pasar ekspor produk tenun dan mempromosikan budaya Indonesia ke mancanegara. LPEI memberikan pelatihan pengembangan produk, penguatan manajemen usaha, pendampingan peningkatan kapasitas produksi, dan memperluas akses pasar," ujar Anggi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement