Senin 23 Oct 2023 18:33 WIB

Khawatir Ketegangan Israel-Hamas Meluas, Rupiah Kembali Terkulai

pelemahan rupiah masih bersumber dari sentimen eksternal.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Fuji Pratiwi
Petugas menghitung uang dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (29/9/2022).
Foto: Prayogi/Republika.
Petugas menghitung uang dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (29/9/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali terkulai. Pada penutupan perdagangan Senin (23/10/2023), mata uang garuda melemah 61 poin ke level Rp 15.933 dari posisi sebelumnya di level Rp 15.889.

Kekhawatiran akan meluasnya dampak penjajahan Israel di Palestina disebut menjadi penyebab pelemahan rupiah beberapa waktu terakhir. Konflik geopolitik di Timur Tengah memicu tingginya volatilitas pasar keuangan.

Baca Juga

"Kekhawatiran penularan dari perang terbaru di Timur Tengah dan keragu-raguan Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga AS mengirimkan dampak negatif," kata Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi.

Di sisi lain, langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan belum berhasil membawa rupiah kembali menguat. Kenaikan suku bunga justru berdampak terhadap perekonomian, terutama bagi konsumsi dan inflasi. 

Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra mengatakan fundamental nilai tukar rupiah di awal perdagangan pekan ini masih sama dengan akhir pekan lalu. Menurutnya, pelemahan rupiah masih bersumber dari sentimen eksternal.

"Konflik Israel-Hamas kelihatannya tereskalasi, area konflik meluas sehingga peristiwa ini masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar," kata Ariston.

Pelaku pasar juga mengantisipasi kebijakan suku bunga tinggi AS yang berlangsung lebih lama. The Fed akan menempuh segara cara untuk mencapai target inflasi di level dua persen.

Ekspektasi tersebut selaras dengan pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell pada pekan lalu. Akibatnya, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun melambung naik menjadi 4,9 persen.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement