REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) saat ini tengah sudah merubah arah kebijakan dengan menaikan suku bunga acuan salah satunya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memproyeksikan rupiah masih akan melemah berkisar Rp 15.900 hingga Rp 16.100 per dolar AS.
Bhima menuturkan, akan ada sejumlah dampak yang terjadi jika rupiah terus melemah bahkan jika menyentuh Rp 16 ribu dolar AS. Terutama dampak-dampak yang akan dirasakan masyarakat langsung jika rupiah terus melemah. Pada siang ini (20/10/2023) rupiah terpantau sudah menyentuh Rp 15.878 per dolar AS.
"Harga kebutuhan pangan akan naik atau terjadi imported inflation karena sebagian kebutuhan pangan masyarakat masih dipenuhi dari impor, terutama beras, bawang putih, dan gula," kata Bhima kepada Republika.co.id, Jumat (20/10/2023).
Dia menambahkan, selain itu efeknya yakni risiko naiknya suku bunga yang akan menciptakan tekanan pada permintaan kredit. Bhima memproyeksikan jika hal tersebut terjadi maka tidak menutup kemungkinan BI bisa menaikkan lagi suku bunga acuannya.
"Kalau inflasi makin naik karena pelemahan kurs, mau tidak mau BI naikkan suku bunga dan itu kurang bagus ya bagi masyarakat yang mau ambil KPR dan kredit modal kerja," jelas Bhima.
Sebelumnya, BI memutuskan pada 19 Oktober 2023 untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi enam persen. BI juga menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen dan suku bunga lending facility juga naik menjadi 6,75 persen.
BI mengungkapkan saat ini dolar AS terus menguat. Kuatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar rupiah.
"Dibandingkan akhir 2022, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi pada level 106,21 atau menguat 2,60 persen secara year to date," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Oktober 2023, Kamis (19/10/2023).
Perry menjelaskan, kuatnya dolar AS tersebut memberikan tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia. Perry menyebut Yen Jepang, Dolar Australia, dan Euro yang melemah masing-masing 12,44 persen, 6,61 persen, dan 1,40 persen secara year to date.
Perry menambahkan depresiasi mata uang kawasan juga terjadi seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Peso Filipina masing-masing 7,23 persen, 4,64 persen, dan 1,73 persen secara year to date. Dalam periode yang sama, dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia, Perry mengatakan nilai tukar rupiah terdepresiasi 1,03 persen.
"Ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," ucap Perry.
Sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, Perry memastikan Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Hal tersebut dilakukan agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation.
Di samping intervensi di pasar valuta asing, Perry menuturkan, Bank Indonesia mempercepat upaya pendalaman pasar uang rupiah dan pasar valuta asing. Selain itu juga termasuk optimalisasi SRBI dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan mekanisme pasar baik dalam meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.
"Koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha terus ditingkatkan dan diperluas untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023," ungkap Perry.