REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bursa berjangka crude palm oil atau CPO milik Indonesia telah memulai perdagangannya pada Jumat (20/10/2023). Kementerian Perdagangan menargetkan, bursa CPO akan menjadi referensi harga minyak sawit mulai kuartal I 2024 selain bursa Malaysia dan Rotterdam yang telah ada lebih dulu.
Seperti diketahui, meski Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar dengan kapasitas sekitar 50 juta ton per tahun, nyatanya masih menggunakan acuan harga dari Malaysia maupun Rotterdam. Kepala Badan Pengawas Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Didid Noordiatmoko, mengatakan, pemerintah akan menyiapkan insentif bagi para pelaku usaha yang mau melakukan perdagangan melalui bursa CPO. Lewat insentif, diharapkan semakin banyak pelaku usaha masuk bursa sehingga harga yang terbentuk semakin riil dan akuntabel.
“Ini (insentif) lagi kami godog, harapannya dalam waktu dekat terumuskan sehingga kuartal I 2024 ini bisa menjadi price reference karena makin banyak yang ikut bursa,” kata Didid di Jakarta, Jumat (20/10/2023).
Lebih lanjut, ia menuturkan, bila nantinya bursa CPO Indonesia telah menjadi referensi harga sawit dunia, tentunya pelaku usaha dalam negeri tidak lagi bergantung pada referensi harga di bursa Malaysia dan Rotterdam. Di sisi lain, pembentukan harga lewat bursa CPO juga akan bermanfaat bagi para petani sawit untuk mendapatkan harga yang lebih adil.
“Kami juga meyakinkan ke Kementerian Pertanian bahwa ini harga kredibel dan bisa menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan baik CPO di hilir maupun harga TBS (tanda buah segar) di hulu,” kata Didid.
Namun, ia menjelaskan, kehadiran bursa CPO di Indonesia bukan untuk berkompetisi dengan Malaysia. Indonesia membutuhkan harga acuan sendiri yang lebih menggambarkan kebutuhan dalam negeri.
”Kita tidak bermaksud berkompetisi dengan bursa Malaysia, tidak bukan itu, justru kami akan berkolaborasi dengan Malaysia karena kita tahu, sawit kita dapat tantangan dari Uni Eropa," ujar Didid.