REPUBLIKA.CO.ID, KABUPATEN BOGOR -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggambarkan sejumlah kondisi yang menyebabkan ekonomi China masih akan sulit untuk tumbuh dalam jangka menengah dan panjang. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Kemenkeu Abdurohman mengatakan, persoalan utama berangkat dari sektor properti yang terus mengalami kontraksi.
"Persoalan yang dihadapi China ini juga pengaruhnya kepada konsumsi," kata Abdurohman di Grand Aston Puncak Bogor, Jawa Barat, Senin (25/9/2023).
Abdurohman menjelaskan, kondisi China berbeda dengan negara besar lainnya seperti Amerika Serikat (AS), bahkan Indonesia sekalipun. Abdurohman mengatakan, penggerak utama dari pertumbuhan di China adalah investasi.
Sementara AS dan Indonesia adalah penggerak ekonominya, yakni konsumsi. "Karena di atas sekitar 54 persen dari PDB Indonesia atau AS itu digerakan oleh konsumsi. Di China agak lain, jadi mereka lebih digerakkan oleh investasi. Sekitar 48 persen dari total PDB mereka disumbang oleh investasi," ujar Abdurohman.
Parahnya, dia melanjutkan, investasi di China terkonsentrasi di sektor properti yang saat ini sedang mengalami tekanan cukup berat. Beberapa kebijakan yang diambil China untuk mendorong konsumsi tidak cukup.
Hal tersebut karena salah satu faktornya karena yakni demografi. "Proporsi penduduk produktif di China terus mengalami penurunan. Lebih banyak proporsinya penduduk usia tua jadi di sisi lain pengangguran usia muda tinggi dan usia mudanya terus menurun," kata Abdurohman.
Menurutnya, kondisi tersebut menyebabkan dalam jangka menengah dan panjang konsumsi China akan terus tertekan. Hal tersebut membuat ekonomi China sulit untuk didorong atau mengalami pertumbuhan.
Populasi China yang berjumlah 1,4 miliar tidak akan cukup untuk mengisi semua apartemen kosong yang berserakan di negeri. Sektor properti China yang pernah menjadi pilar perekonomian merosot sejak 2021 ketika raksasa real estate China Evergrande Group gagal membayar kewajiban utangnya menyusul pembatasan pinjaman baru. Pengembang ternama seperti Country Garden Holdings terus terhuyung-huyung mendekati gagal bayar utang (default) sampai hari ini sehingga membuat sentimen pembeli rumah tetap tertekan.
Seperti dilansir dari laman Reuters, Senin (24/9/2023), pada akhir Agustus, total luas lantai rumah yang tidak terjual di China mencapai 648 juta meter persegi berdasarkan data terbaru dari Biro Statistik Nasional (NBS). Jumlah tersebut setara dengan 7,2 juta rumah, menurut perhitungan Reuters, berdasarkan rata-rata ukuran rumah sebesar 90 meter persegi.
Jumlah tersebut belum termasuk sejumlah proyek perumahan yang telah terjual namun belum selesai karena masalah arus kas atau beberapa rumah yang dibeli oleh spekulan saat pasar mulai memanjang terakhir pada 2016, yang secara keseluruhan merupakan sebagian besar rumah yang tidak terpakai.