REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut saat ini sudah banyak negara untuk mengambil kebijakan secara ekstrem mencapai net zero emission. Hal ini menyusul target net zero emission di Indonesia pada 2060.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan dalam jangka pendek energi terbarukan menggantikan bahan bakar fosil tidak realistis, karena minimnya infrastruktur.
“Kebutuhan energi dalam perekonomian sedang tahap transisi maka harus dipetakan. Tapi tidak realistis jika energi terbarukan dapat menggantikan bahan fosil dalam jangka pendek karena juga ketidakmampuan memenuhi beban yang dibutuhkan,” ujarnya saat webinar The 1st OJK International Research Forum 2023, Senin (25/9/2023).
Mahendra menyebut kebutuhan infrastruktur teknologi memicu mahalnya modal pendanaan. Akibatnya Mahendra mencontohkan beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara dibuka kembali di Eropa karena kekurangan pendanaan proyek lingkungan yang tidak menguntungkan.
“Kita harus memastikan perekonomian berkelanjutan di Indonesia berdasarkan investasi bankable. Kita harus berhati-hati dalam memilih energi terbarukan. Misalnya ada kekhawatiran energi angin bukan sumber yang layak, investasi tinggi, produktivitas rendah yang memerlukan subsidi besar,” ucapnya.
Di Indonesia, Bursa Karbon akan diluncurkan besok Selasa (26/9/2023) dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Mahendra, nantinya perdagangan karbon bertujuan salah satunya untuk menyediakan pasar yang akan membantu pemerintah seiring transisi bertahap menuju ekonomi berkelanjutan.
“Dan akan memperkuat Bursa Karbon Indonesia yang dapat menawarkan begitu banyak variasi unit karbon dari modal alam (natural capital) maupun energi dari offset market,” tambahnya.
“Berbeda dengan banyak negara di dunia, 60 persen emisi karbon Indonesia berasal dari sektor kehutanan dan tata guna lahan. Dalam hal ini, Indonesia berada dalam jalur yang tepat, tidak hanya mencapai target net zero, namun sinkronisasi sektor kehutanan dan tata guna lahan pada 2030,” ucapnya.