Senin 11 Sep 2023 20:30 WIB

Pemerintah Targetkan Mulai 2030 Bisnis Jasa 'Gudang CO2' Dimulai

Studi pengembangan CO2 telah dilakukan oleh sejumlah perusahaan migas.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Lida Puspaningtyas
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjadi Keynote Speaker pada acara International & Indonesia CCS FORUM 2023 Pioneering The Energy Landscape Decarbonization Future : Harnessing The Power Of CCS Globally For A Cleaner Future And Economic Growth yang diselenggarakan di Hotel Mulia, Jakarta, pada Senin (11/9/2023).
Foto: Dok. Pertamina
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjadi Keynote Speaker pada acara International & Indonesia CCS FORUM 2023 Pioneering The Energy Landscape Decarbonization Future : Harnessing The Power Of CCS Globally For A Cleaner Future And Economic Growth yang diselenggarakan di Hotel Mulia, Jakarta, pada Senin (11/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menargetkan implementasi teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) atau penyimpanan karbondioksida C02 di reservoir bawah tanah bekas lapangan minyak dan gas bumi (migas) akan dimulai pada 2030 mendatang. Adapun sejauh ini, studi pengembangan CO2 telah dilakukan oleh sejumlah perusahaan migas.

Ketua Pelaksana International & Indonesia CCS Forum 2023, Merry Marteighanti, mengatakan, sejauh ini ada sejumlah studi yang mulai dilakukan dalam pengembangan CCS untuk bisa menekan laju emisi.

Pada 2030 mendatang, ditargetkan total kapasitas penyimpanan C02 di CCS mencapai tujuh metrik ton per annum (MTPA).

“Lalu seberapa besar CCS bisa berkontribusi pada emisi? Melalui CCS ini manfaatnya cukup besar dan signifikan dan akan sangat berperan dalam membantu dekarbonisasi,” kata Merry dalam konferensi pers IICCS Forum di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2023).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, menjelaskan, CCS yang dikembangkan nantinya bisa menerima CO2 dari perusahaan industri di luar negeri. Mereka sekaligus bisa membangun pabriknya di Indonesia di lokasi yang dekat dengan fasilitas CCS.

“Mereka yang mau memakai storage kita, bayar. Jadi kita ke depan jualan gudang-lah bisnisnya. Jualan gudang CO2,” kata Tutuka.

Menurut Tutuka, bisnis CCS ke depan akan semakin menarik. Terlebih dengan akan semakin tingginya pajak karbon yang diterapkan oleh sejumlah negara.

Opsi menyimpan emisi CO2 ke CCS menjadi solusi di masa depan untuk menghindari kewajiban pajak karena tersimpan di reservoir dan tak mencemari udara.

“Contoh Singapura yang tidak punya lapangan migas (reservoir) dia mau simpan CO2 ke mana? Apalagi tahun depan pajak karbon sudah 25 dolar AS per ton, tahun depannya jadi 45 dolar AS per ton. Jadi kalau orang membuang CO2 kan mikir, mending saya simpan saja,” jelasnya.

Namun untuk mengimplementasi kerja sama bisnis itu, perlu dilakukan nota kesepahaman antar negara yang ditindaklanjuti secara bisnis oleh perusahaan yang bersangkutan.

Soal tarif penyimpanan CO2 di CCS, akan diatur lebih lanjut oleh perusahaan pemilik CCS. Sejauh ini tercatat, sejumlah perusahaah migas di Indonesia yang mulai mengembangkan studi CCS yakni seperti PT Pertamina, ExxonMobil serta BP.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, mengatakan, Pertamina bahkan menggandeng Mitsui & Co., Ltd. untuk mengkaji komersialisasi penerapan teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) di wilayah Sumatra bagian tengah, Indonesia.

ExxonMobil juga digandeng untuk mengkaji penerapan teknologi CCS dan CCUS di cekungan Sunda-Asri. Kemudian, di lepas pantai Kalimatan, Pertamina bekerja sama dengan Chevron untuk mengembangkan hub CCS Cekungan Kutai.

"Ketiga inisiatif ini dirancang dan direncanakan untuk menjadi hub CCS besar dan mekanisme klaster yang memungkinkan untuk menyimpan CO2 secara signifikan untuk penghasil emisi domestik dan internasional," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement