REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi berjalan pada kuartal II 2023 mengalami defisit 0,5 persen dari PDB. Angka itu mengakhiri catatan surplus transaksi berjalan selama beberapa kuartal terakhir. Meskipun begitu, BI menilai defisit tersebut masih dalam kondisi aman.
"Ini defisit biasa saja sebetulnya dan masih rendah ya defisitnya. Masih jauh di bawah katakanlah defisit CAD yang aman," kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Wahyu Agung Nugroho di JCC, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Wahyu menjelaskan, CAD saat ini dipengaruhi perbaikan aktivitas ekonomi domestik. Menurutnya, kondisi tersebut masih sesuai dengan keadaan ekonomi saat ini.
"Jadi masih jauh dan ini sesuai saja dengan aktivitas ekonomi yang semakin membaik sehingga ada dampaknya. Rupiah juga, alhamdulillah, menguat," ucap Wahyu.
BI memastikan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II 2023 tetap terjaga di tengah kondisi ketidakpastian global. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan, defisit transaksi berjalan tercatat rendah di tengah kondisi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global serta kenaikan permintaan domestik.
"Transaksi modal dan finansial mencatat defisit yang masih terkendali seiring dampak tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," kata Erwin dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (22/8/2023).
Dengan perkembangan tersebut, Erwin menuturkan, NPI pada kuartal II 2023 mencatat defisit 7,4 miliar dolar AS. Sementara itu, posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2023 tercatat tetap tinggi sebesar 137,5 miliar dolar AS.
Transaksi berjalan juga mencatat defisit rendah di tengah kondisi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global serta berlanjutnya perbaikan ekonomi domestik. Pada kuartal II 2023, transaksi berjalan mencatat defisit 1,9 miliar dolar AS atau 0,5 persen dari PDB, setelah membukukan surplus 3,0 miliar dolar AS atau 0,9 persen dari PDB pada triwulan sebelumnya.
Surplus neraca perdagangan nonmigas masih tinggi meski lebih rendah dari triwulan sebelumnya. "Kondisi ini dipengaruhi ekspor nonmigas yang menurun sejalan dengan penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global, sedangkan impor menurun terbatas di tengah kondisi membaiknya aktivitas ekonomi domestik," ungkap Erwin.
Dia menambahkan, defisit neraca perdagangan migas meningkat dipengaruhi tingginya konsumsi BBM sebagai dampak naiknya mobilitas dan kebutuhan pada periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Lebih lanjut, defisit neraca jasa dan neraca pendapatan primer juga lebih tinggi sejalan dengan peningkatan ekonomi domestik dan pola pembayaran dividen pada periode laporan.