Selasa 15 Aug 2023 10:33 WIB

Rupiah Lesu Karena Data Penjualan Ritel AS Berpotensi Tumbuh

Bila data perdagangan RI lebih baik dari prediksi, pelemahan rupiah bisa ditahan.

Petugas menghitung uang dolar AS di sebuah bank di Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Petugas menghitung uang dolar AS di sebuah bank di Jakarta, Kamis (21/7/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong menyatakan pelemahan rupiah dipengaruhi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) oleh ekspektasi menjelang rilis data penjualan ritel AS yang diperkirakan tumbuh 0,4 persen.

Selain itu, data-data dari ekonomi China yang baru dirilis jauh lebih lemah dari perkiraan. "Data dari China adalah produksi industri naik 3,7 persen dengan perkiraan 4,4 persen dan penjualan ritel naik 2,5 persen dengan perkiraan 4,5 persen," ujar Lukman di Jakarta, Selasa (15/8/2023).

Baca Juga

Ia melanjutkan, investor juga disebut menantikan data perdagangan Indonesia pada siang hari ini yang diperkirakan kembali menunjukkan penurunan pada ekspor dan impor. Apabila data perdagangan Indonesia lebih baik dari perkiraan, ucapnya, mungkin bisa menahan pelemahan rupiah. Namun, untuk saat ini rupiah diprediksi masih akan lemah.

"(Di samping itu), rupiah akan didukung oleh intervensi aktif dari Bank Indonesia," ungkap Lukman.

Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi melemah 0,27 persen atau 42 poin menjadi Rp 15.356 per dolar AS dari sebelumnya Rp 15.314 per dolar AS.

Dolar AS menguat terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), karena imbal hasil obligasi pemerintah AS yang lebih tinggi mendorong mata uang Amerika dan investor mencari tempat yang aman di tengah kekhawatiran tentang ekonomi China.

Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, meningkat 0,34 persen menjadi 103,1898 pada akhir perdagangan, mencapai level tertinggi dalam lebih dari sebulan. Para analis mengatakan investor membeli dolar sebagai tempat berlindung dari kekhawatiran tentang kesehatan ekonomi global khususnya China. Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun yang jadi acuan mendekati 4,20 persen pada Senin (14/8/2023), level yang tidak terlihat sejak November 2022, sehingga meningkatkan dolar.

"Banyak pedagang fokus lagi ke China," kata Edward Moya, Analis Pasar Senior di OANDA seperti dikutip oleh Reuters.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement