REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip, mengungkapkan, dalam momen menjelang pemilu akan muncul sejumlah tantangan. Hal tersebut karena adanya efek kekhawatiran ketidakpastian dari ajang perpolitikan tersebut. Ini kemudian cenderung berimplikasi pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
"Jadi, pemerintah memang perlu menjaga perilaku konsumsi masyarakat agar bisa terus tumbuh," kata Sunarsip kepada Republika.co.id, Selasa (8/8/2023).
Dia menuturkan, aktivitas politik biasanya membuat para pengusaha memilih untuk wait and see terlebih dahulu. Sunarsip memproyeksikan, investasi akan terhambat dan berpotensi menurunkan laju pertumbuhan ekonomi.
Untuk menjaga konsumsi masyarakat, Sunarsip mengatakan, pada akhirnya membuat pemerintah melalui sisi fiskal dan belanjanya harus lebih aktif. Hal itu dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi.
"Ini mengingat sektor swasta tidak bisa diandalkan sebagai pilar pertumbuhan selama periode politik tersebut," ucap Sunarsip.
Dia menegaskan, pertumbuhan dari sisi pengeluaran pemerintah yang saat ini masih rendah harus didorong tumbuh. Bahkan, kata dia, harus didorong dua kalinya dari posisi saat ini.
Hal tersebut, menurut dia, perlu dilakukan agar dorongan belanja pemerintah tersebut dalam menggerakan ekonomi menjadi semakin besar. "Ini bisa menimbulkan multiplier effect yang besar bagi perekonomian dan peningkatan daya beli," tutur Sunarsip.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan belanja pemilu akan memengaruhi konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga atau LNPRT. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud mengatakan hal tersebut terutama dapat terjadi setelah memasuki masa kampanye.
Meskipun demikian, Edy menyebut kegiatan persiapan pemilu seperti konsolidasi nasional oleh partai politik sudah mewarnai pengeluaran partai politik pada kuartal II 2023. "Ini meningkatkan pertumbuhan LNPRT sekitar 1,57 persen poin," kata Edy dalam konferensi pers, Senin (7/8/2023).