REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis pasar mata uang Lukman Leong menyatakan pelemahan rupiah terhadap dolar AS disebabkan kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi China dan prospek suku bunga bank sentral AS, The Fed.
"Seperti yang diperkirakan, China tadi pagi menurunkan suku bunga pinjaman sebesar 10 bps untuk merespons perlambatan ekonomi," ujar dia ketika dilansir Antara di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
Menurut dia, perlambatan ekonomi China disebabkan permintaan domestik dan global yang masih lemah (ekspor dan impor). Pada Ahad (18/6/2023), Goldman Sach menurunkan cukup besar proyeksi pertumbuhan China.
"Sentimen ini bisa bertahan cukup lama mengingat China adalah ekonomi terbesar di Asia dan kedua di dunia. (Namun), pasar tentunya telah mengantisipasinya, kecuali memburuk. Hal ini akan terus menjadi perhatian investor," ucapnya.
Meninjau sentimen dari Amerika Serikat (AS), investor masih menantikan penjelasan Ketua The Fed Jerome Powell di depan kongres AS pada Kamis (22/6/2023).
"Powell diharapkan memberikan penjelasan kebijakan suku bunga The Fed ke depan, mengingat pada FOMC (Federal Open Market Committee) pekan lalu mengisyaratkan akan adadua kali kenaikan suku bunga hingga akhir tahun," ungkap Lukman.
Jika ada kenaikan suku bunga, menjadi berat bagi rupiah mengingat Bank Indonesia sudah mulai berencana menurunkan suku bunga.
"Apabila ini terjadi maka divergensi kebijakan suku bunga antara BI dan The Fed akan menekan rupiah. Tanpa menurunkan suku bunga pun, suku bunga BI akan sama dengan The Fed yang apabila menaikkannya dua kali," Katanya.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi melemah 0,36 persen atau 54 poin menjadi Rp 14.994 per dolar AS dari sebelumnya Rp 14.940 per dolar AS.