REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT PLN (Persero) mencatat, pemanfaatan geopolimer dari abu sisa pembakaran batu bara PLTU atau dikenal Fly Ash Bottom Ash (FABA) pada pengolahan bahan baku konstruksi mampu mereduksi emisi karbon hingga 44 persen. FABA pun dinilai menjadi salah satu bahan baku material pengganti semen yang lebih ramah lingkungan.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLN terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk melakukan terobosan dan inovasi teknologi dalam pelestarian lingkungan, termasuk dalam pemanfaatan FABA.
“PLN akan terus melakukan terobosan dan inovasi teknologi sebagai komitmen perseroan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dekarbonisasi di sektor kelistrikan, khususnya PLTU, adalah bagian dari upaya tersebut,” kata Darmawan dalam keterangannya, Ahad (18/6/2023).
Sementara itu, Direktur Geopolimer Indonesia Januarti Jaya Ekaputri menjelaskan, salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca adalah aktivitas industri, khususnya industri semen. Produksi semen berkontribusi 52 persen dalam emisi sektor industri.
Ia mengatakan alternatif pemanfaatan FABA untuk pengurangan emisi karbon ini perlu dukungan bersama. Dengan peningkatan teknologi dan pengembangan kajian, FABA bisa semakin berperan dalam sirkular ekonomi dan dekarbonisasi di industri semen dan beton.
"Hal ini perlu dicarikan solusi yang lebih ramah lingkungan mengingat tingginya emisi karbon dari industri semen. Jika penggunaan semen ini bisa disubtitusi dengan geopolimer yang berbahan baku FABA, maka mampu menurunkan emisi hingga 44 persen," ujar Jaya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Bumi Non-Konvensional (UGRG) Universitas Gajah Mada Himawan Tri Bayu Murti Petrus menjelaskan, pengelolaan FABA yang komprehensif akan mampu menyasar berbagai sektor.
Oleh sebab itu, menurut dia, sebaiknya FABA tidak ditimbun begitu saja namun dimanfaatkan untuk mendorong perekonomian dan pelestarian lingkungan.
Himawan mengungkapkan, FABA yang dihasilkan di Indonesia terbukti masuk kategori aman karena tidak mengandung zat radio aktif berbahaya. Dengan demikiam, FABA di Indonesia sangat potensial dikembangkan lebih jauh karena memiliki struktur rantai kimia yang lebih ramah lingkungan.
"FABA produksi Indonesia justru lebih ramah lingkungan karena memiliki rantai kimia yang tidak berbahaya. Sehingga Indonesia bisa meningkatkan utilisasi FABA ini untuk jadi bahan baku ekonomis," ujar Himawan.