REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna menyampaikan sebanyak 10 persen dari perusahaan yang mengantre akan menggelar Initial Public Offering (IPO) pada tahun ini merupakan sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sebanyak 10 persen sektor UMKM yang mengantre IPO tersebut merupakan perusahaan dengan nilai aset di bawah Rp 50 miliar.
Sisanya, sekitar 85-90 persen yang mengantre IPO masih didominasi oleh perusahaan dengan aset skala menengah dengan nilai aset antara Rp 50 miliar sampai Rp 250 miliar, dan skala besar dengan aset di atas Rp 250 miliar. "Memang lebih besar sekitar 85-90 persen itu yang menengah dan besar, UMKM sisanya yang skala kecil dan di akselerasi itu sekitar 10 persen," ujar Nyoman (7/6/2023).
Melihat fenomena tersebut, pihaknya telah menyediakan papan akselerasi sebagai upaya mendorong lebih banyak UMKM untuk menyelenggarakan IPO, sebagai bentuk penggalangan dana untuk naik kelas dan melakukan ekspansi.
"Yang kita masukkan ke papan akselerasi bukan hanya sekedar sizenya yang kecil. Kita tidak melihat itu, tapi bagaimana perusahaan ini berbeda dari yang lain, artinya, ada inovasi ada hal-hal yang kita lihat ada growth opportunity ke depan," ujar Nyoman.
Dalam kesempatan sama, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang ikut hadir di Main Hall BEI, menyampaikan sampai saat ini telah terdapat 33 UMKM yang menggelar IPO dari total 864 perusahaan yang telah melantai di bursa.
Melalui keterlibatan BEI sebagai inkubator, pihaknya optimistis 100 UMKM akan lebih cepat bisa menjadi perusahaan go public seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil.
"Misalnya warung bakso, warteg (warung tegal), usaha-usaha lainnya yang bisa kita agregasi, sehingga kalau minimumnya nilai Rp 50 miliar itu saya kira bisa, tapi memang perlu keterlibatan inkubator," ujar Teten.
Sampai 26 Mei 2023, BEI mencatat telah terdapat 40 perusahaan yang mencatatkan saham perdana di pasar modal Indonesia, dengan dana dihimpun mencapai Rp 32,7 triliun.