REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-42 ASEAN perlu membahas potensi perdagangan karbon antarnegara anggota. Hal itu bertujuan untuk mengurangi emisi karbon penyebab perubahan iklim.
"Perlu diangkat pada level negara-negara ASEAN bagaimana perdagangan karbon bisa dilakukan," kata Fahmy di Yogyakarta, Selasa (9/5/2023).
Menurut Fahmy, di Indonesia sejauh ini telah berlangsung kesepakatan perdagangan karbon yang dilakukan oleh sejumlah perusahaaan swasta maupun BUMN. "Untuk Indonesia potensinya cukup besar karena banyak perusahaan swasta maupun BUMN yang menghasilkan kelebihan pencegahan karbon tadi yang itu bisa dijual pada perusahaan yang menghasilkan emisi karbon," kata dia.
Perdagangan emisi karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.
Di Indonesia, kegiatan jual beli itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
Tiap perusahaan diberi batasan maksimum memproduksi emisi karbon. Perusahaan yang belum mencapai batasan maksimum diperbolehkan untuk menjual unit karbonnya ke pihak lain. Sementara itu, perusahaan yang telah melebihi batasan diharuskan membeli unit karbon dari pihak lain.
Dengan demikian, perdagangan karbon dapat memastikan perusahaan-perusahaan secara keseluruhan tidak melebihi tingkat emisi karbon dasar yang ditetapkan oleh pemerintah.
"Saya kira ini belum pernah dibahas di ASEAN sehingga KTT ASEAN jadi kesempatan yang tepat mengangkat isu perdagangan karbon karena ini penting, juga bagian dari transisi energi," kata dia.
Pada KTT ASEAN, kata dia, dapat dibahas mengenai mekanisme perdagangan karbon hingga penetapan tarif. "Penetapan tarif bagi perdagangan karbon tadi, juga beberapa aturan yang bisa dirumuskan sehingga perdagangan karbon di level ASEAN bisa berjalan dengan baik," kata dia.
Selain perdagangan karbon, menurut Fahmy, perlu pula digagas terkait penggalangan dana bersama untuk membiayai transisi energi di negara anggota ASEAN. "Perlu dibahas dana bersama yang kemudian diperuntukkan untuk membiayai ekonomi energi pada masing-masing negara ASEAN sehingga ASEAN memiliki kontribusi dalam pencapaian zero carbon di kawasan," kata dia.
Indonesia disebut memiliki potensi pasar karbon yang besar. Dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektare, Indonesia memiliki potensi besar memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon.