Selasa 11 Apr 2023 15:13 WIB

Sri Mulyani Tegaskan tak Ada Perbedaan Data dengan Mahfud

Transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun merupakan agregat sejak 2009-2023.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Friska Yolandha
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) bersiap memberikan keterangan pers terkait penyampaian hasil rapat Komite Nasional TPPU di Gedung PPATK, Jakarta, Senin (10/4/2023). Dalam keterangan tersebut disampaikan 7 poin penting hasil rapat komite TPPU antara lain Komite akan segera membentuk Tim Gabungan/Satgas yang akan melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/LHP nilai agregat sebesar Rp349 triliun.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) bersiap memberikan keterangan pers terkait penyampaian hasil rapat Komite Nasional TPPU di Gedung PPATK, Jakarta, Senin (10/4/2023). Dalam keterangan tersebut disampaikan 7 poin penting hasil rapat komite TPPU antara lain Komite akan segera membentuk Tim Gabungan/Satgas yang akan melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/LHP nilai agregat sebesar Rp349 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan, tak ada perbedaan data antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD terkait transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun.

"Secara awal tadi telah ditegaskan oleh Pak Menko, slide kami, tidak ada perbedaan data antara Menkopolhukam dengan Menteri Keuangan terkait transaksi agregat sebesar 349 triliun," ujar Sri dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Selasa (11/4/2023).

Baca Juga

"Transaksi agregat yang 349 ini artinya ada transaksi yang bersifat debit, kredit, keluar, masuk yang mungkin kalau di dalam proses untuk melihat akuntansinya disebut sebagai double triple counting," sambungnya.

Jelasnya, transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun itu merupakan agregat sejak 2009 hingga 2023. Laporan hasil analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tersebut diserahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lewat 300 surat.

"Dari 200 surat yang dikirim PPATK ke Kementerian Keuangan, 186 telah selesai ditindaklanjuti dan mengakibatkan hubungan disiplin bagi 193 pegawai, ini periode 2009 hingga 2023. Sementara sembilan surat ditindaklanjuti ke aparat penegak hukum," ujar Sri.

Kemenkeu telah menindaklanjuti semua LHA/LHP terkait tindakan administratif terhadap aparatur sipil negara (ASN) di kementeriannya. Semua yang terlibat ditindak dengan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN jo PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.

"Kalau menyangkut pegawai Kementerian Keuangan dan laporan dari PPATK yang menyebutkan pegawai Kementerian Keuangan yang dikirim kepada kami, kami telah menindaklanjuti menggunakan mekanisme Undang-Undang 5/2014 dan PP 94/2021," ujar Sri.

Sebelumnya, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD menjelaskan, ada sejumlah alasan yang membuat penyampaian data oleh Sri terkait transaksi mencurigakan terkesan berbeda. Salah satunya adalah baru tahunya Sri Mulyani terhadap laporan dugaan tindak pidana pencucian uang.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sendiri telah memberikan LHA yang merupakan agregat dari 2009 sampai 2023. Laporan tersebut diserahkan langsung pada 14 Maret 2023.

"Cuma Bu Sri Mulyani itu menerangkannya begini, kalau PPATK itu kan (memberikan laporan) rombongan nih, misalnya Rafael, itu kan ada rombongannya. Ketika diperiksa oleh Bu Sri Mulyani, (hanya) satu (contoh) yang diambil," ujar Mahfud ketika memberikan jawabannya kepada Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023) malam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement