Sabtu 01 Apr 2023 06:02 WIB

Pemerintah Berpotensi Kehilangan Pendapatan Rp 19 Triliun Akibat Impor Tekstil Ilegal

Impor tekstil ilegal di Indonesia mencapai 320 ribu ton pada 2022, naik 12,28 persen.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Seorang pedagang mempersiapkan dagangannya di pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (14/12/2021). Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) memproyeksikan pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sebesar 10 persen pada tahun depan dengan dukungan situasi pasar yang kondusif dan kebijakan pengendalian impor yakni bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) garmen.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Seorang pedagang mempersiapkan dagangannya di pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (14/12/2021). Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) memproyeksikan pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sebesar 10 persen pada tahun depan dengan dukungan situasi pasar yang kondusif dan kebijakan pengendalian impor yakni bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) garmen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) menyebutkan, impor tekstil tidak tercatat atau ilegal di Indonesia mencapai 320 ribu ton pada 2022. Angka itu naik 12,28 persen dibandingkan 2021 yang sebesar 285 ribu ton.

Diungkapkan, jumlah impor tekstil ilegal itu setara 16 ribu kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan. Kerugian akibat praktik impor ilegal tersebut menembus Rp 32,48 triliun.

Baca Juga

"Pemerintah juga berpotensi kehilangan pendapatan dalam bentuk pajak sebesar Rp 19 triliun pada 2022," ujar Ketua Umum Apsyfi Redma Gita Wirawasta dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Ia menambahkan, dari total 320 ribu ton impor tekstil ilegal pada tahun lalu, sebanyak 210 ribu ton di antaranya dari China. Sisanya sebanyak 110 ribu ton dari India, Korea Selatan, Taiwan, dan lainnya. Ia menuturkan, ada beberapa modus impor tekstil ilegal, di antaranya berupa impor unprosedural seperti borongan, under invoice, transhipmen, dan pelarian Harmonized System (HS).

 

“Komposisi modus impor unprosedural sekitar 70 persen,” katanya.

Redma melanjutkan, importasi tekstil unprosedural ini dilakukan oleh sekitar 60 perusahaan yang dipunyai sekitar delapan orang pengusaha. Mereka melakukan praktik impor tekstil itu dengan berbagai macam cara, termasuk mengantongi izin impor baik Angka Pengenal Importir untuk Perusahaan (API-P) dan Angka Pengenal Impor untuk Umum (API-U) ratusan juta meter per perusahaan.

Para pelaku importasi tekstil unprosedural ini juga kerap bekerja sama dengan oknum Bea Cukai di lapangan, termasuk dengan oknum pemberi izin impor di Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Perindustrian.

“Mereka ini main banyak kaki. Jadi pemainnya tidak banyak, tapi punya banyak cara. Satu orang bisa pegang puluhan perusahaan,” ungkapnya.

Modus importasi pakaian bekas, kata dia, berkontribusi 30 persen dari total impor tekstil ilegal. Para pelaku industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) lokal pun khawatir dengan peredaran pakaian bekas impor.

Ia menyatakan, impor ilegal pakaian bekas terus bertambah. Beberapa tahun lalu porsinya hanya lima persen sampai 10 persen. Tempat yang menjual produk itu pun dulu sangat terbatas. Waktu operasionalnya hanya di akhir pekan, seperti pasar kaget dan lainnya.

"Sekarang pakaian bekas impor sudah tersebar di berbagai tempat. Juga masih mudah ditemukan di berbagai platform e-commerce," jelas Redma.

Apsyfi, sambungnya, menemukan pula fakta adanya perusahaan yang menawarkan jasa layanan impor pakaian secara ilegal di salah satu platform e-commerce.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement