Rabu 29 Mar 2023 16:01 WIB

Impor Beras (Lagi), Keputusan yang Dilematis

Pemerintah akan mengimpor dua juta ton beras sampai akhir Desember 2023.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Tumpukan karung berisi beras impor asal Vietnam di atas kapal MV Hoang Trieu 69 yang tiba di Pelabuhan Tenau Kupang, NTT, Jumat (13/01/2023). Perum Bulog NTT mendapatkan kiriman lima ribu ton beras asal Vietnam yang akan dimanfaatkan sebagai cadangan beras pemerintah sekaligus untuk menjaga ketahanan pangan di NTT. ANTARA  FOTO/Kornelis Kaha/tom.
Foto:

Khudori menilai bisa saja Bulog menyerap lewat mekanisme komersial dan akan memperbaiki CBP. Namun hal ini mendorong Bulog agresif masuk ke pasar dan berkompetisi dengan pelaku usaha lain, baik penggilingan padi maupun pedagang beras, untuk memperebutkan gabah atau beras. 

"Langkah itu jelas tidak tepat dan menyalahi khittah keberadaan Bulog. Cara ini hanya akan membuat harga tertarik ke atas alias akan semakin tinggi," ucap Khudori.

Merujuk data BPS (Kerangka Sampling Area amatan Februari 2023), Khudori menjelaskan, produksi padi masih terbatas. Menurut BPS, Februari 2023 sudah mulai ada surplus. Produksi pada bulan itu apabila dikurangi kebutuhan konsumsi sekitar 2,53 juta ton beras ada surplus 0,32 juta ton. Lalu, Maret diproyeksikan ada surplus 2,84 juta ton, dan April ada surplus 1,26 juta ton beras. 

Menurut dia, surplus pada Februari itu masih kecil dan jadi rebutan pelaku usaha, penggilingan padi atau pedagang beras, untuk memastikan pengisian pipa distribusi mereka yang kerontang sejak Oktober lalu. 

"Jadi, wajar jika harga masih tinggi, bahkan terus naik. Ketika harga tinggi, mustahil Bulog bisa dapat gabah atau beras. Ketika harga gabah atau beras tinggi atau di atas HPP, Bulog tidak perlu masuk ke pasar. Kalau memaksa masuk akan berujung salah urus," ungkap dia.

Persoalannya, ucap Khudori, kalau CBP terus terkuras untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras seperti saat ini, volumenya akan habis tandas. Dari Januari hingga 24 Maret 2023, pasar sudah disuntik beras oleh Bulog lewat operasi pasar sebesar 543.472 ton. Tapi harga beras tetap tinggi, bahkan cenderung naik.

"Kalau jumlah CBP terbatas, pemerintah tidak lagi memiliki instrumen intervensi yang bisa digerakan setiap saat untuk mengoreksi kegagalan pasar. Penguasa dominan di pasar amat mungkin akan mendikte harga pasar. Ini tentu harus dicegah," lanjutnya.

Dalam konteks ini, Khudori bisa memahami keputusan impor, terlebih dari dalam negeri tidak lagi memungkinkan, impor bisa jadi opsi. Yang harus dipastikan adalah jumlah impor harus terukur dan waktu kedatangannya jangan meleset.

"Jika ada pertanyaan bukankah kita suprlus produksi beras kok impor? Benar, merujuk data BPS, sejak 2018 Indonesia surplus beras. Tapi volume surplus itu terus turun, dari 4,7 juta ton pada 2018 hanya tinggal 1,34 juta ton pada 2022. Ketika jumlah surplus kian mengecil, soal pengelolaan cadangan dan distribusi jadi isu krusial. Ketika salah perhitungan, dampaknya bisa amat fatal," ujar Khudori.

Ke depan, Khudori menilai perlu ada upaya-upaya yang serius untuk menggenjot produksi dan produktivitas yang terus menurun dari 2018 ke 2022. Produktivitas memang naik, tapi minor. 

"Tahun ini, tantangan produksi diperkirakan jauh lebih sulit ketimbang tahun lalu yang masih mengalami La-Nino. Tahun ini, mulai April akan terjadi El-Nino, yang jika merujuk pengalaman biasanya produksi turun," kata Khudori.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement