Jumat 17 Mar 2023 15:30 WIB

OJK: Bunga Kredit Turun Jika Bank Punya Cukup Informasi Debitur

Bila informasi debitur tak lengkap, bunga akan tinggi sebagai bentuk mitigasi bank.

Tangkapan layar Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara dalam konferensi pers RDK OJK, Senin (27/2/2023). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa bunga kredit bisa turun apabila bank atau lembaga pembiayaan mengantongi informasi yang cukup terkait calon debitur.
Foto: Tangkapan Layar
Tangkapan layar Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara dalam konferensi pers RDK OJK, Senin (27/2/2023). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa bunga kredit bisa turun apabila bank atau lembaga pembiayaan mengantongi informasi yang cukup terkait calon debitur.

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa bunga kredit bisa turun apabila bank atau lembaga pembiayaan mengantongi informasi yang cukup terkait calon debitur. Oleh karenanya, penting mengembangkan infrastruktur informasi kredit.

"Kalau suatu bank atau lembaga pembiayaan punya informasi cukup, dampaknya bunga bisa turun. Maka dari itu penting sekali kami mengembangkan infrastruktur informasi kredit," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara dalam seminar internasional terkait penilaian kredit di Nusa Dua, Bali, Jumat (17/3/2023).

Baca Juga

Ia menambahkan apabila bank atau lembaga pembiayaan tidak memiliki cukup informasi dari debitur, bunga kredit yang diberikan diperkirakan akan tinggi sebagai salah satu bentuk mitigasi risiko kredit. Namun, ia tidak menyebutkan batasan bunga tinggi atau pun penurunan bunga kredit terkait kecukupan informasi debitur. 

"Kalau bank atau lembaga pembiayaan informasinya tidak cukup, yang dilakukan apa? Diberi bunga yang tinggi," ucapnya.

Saat ini, informasi kredit dari calon debitur dihimpun dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang ada di OJK atau sebelumnya bernama BI-Checking yang dimiliki di Bank Indonesia (BI). Informasi kredit di SLIK, kata dia, mencakup informasi dari perbankan dan lembaga pembiayaan.

Selain itu, ada juga layanan penilaian kredit oleh dua jenis entitas, yaitu Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) sebagai Biro Kredit Konvensional, dan penyedia Penilaian Kredit Inovatif (ICS) yang berbasis digital. Biro Kredit Konvensional menyediakan laporan dan penilaian kredit berdasarkan data kredit tradisional, seperti riwayat pembayaran pinjaman dan utang yang belum lunas.

Sementara itu, ICS merupakan bentuk penilaian yang lebih baru yang menggunakan sumber data alternatif untuk menilai kelayakan kredit. Sumber baru penilaian kredit di antaranya aktivitas calon debitur di media sosial, transaksi daring dan penggunaan telepon seluler.

ICS, kata dia, sebagian besar digunakan oleh lembaga pembiayaan berbasis teknologi keuangan (fintech) di antaranya aplikasi yang mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman atau peer to peer (P2P) lending.

Mirza mengharapkan baik biro kredit dan penilaian kredit dengan sistem berbasis digital itu bisa berkolaborasi untuk mendukung dan menumbuhkan kredit yang sehat karenarealisasi kredit di Tanah Air baru mencapai sekitar 35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Capaian itu, kata dia, masih jauh lebih rendah dibandingkan Thailand yang sudah mencapai sekitar 70 persen dari PDB.

Untuk itu, ia menilai masih banyak ruang yang dapat dikembangkan oleh lembaga jasa keuangan untuk penetrasi kredit lebih besar.

Berdasarkan data OJK, realisasi kredit perbankan di Tanah Air pada Desember 2022 mencapai Rp6.424 triliun atau melonjak 11,35 persen jika dibandingkan periode sama 2021 mencapai Rp 5.482 triliun. Capaian realisasi kredit 2022 itu diperkirakan sekitar 35 persen dari total PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp 19.588,4 triliun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement