REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan Indonesia menguasai sekitar 40 persen atau senilai 77 miliar dolar AS dari total nilai transaksi ekonomi digital di Asia Tenggara berdasarkan laporan e-Conomy South East Asia pada 2022.
"Realisasi nilai transaksi ekonomi digital itu tumbuh 22 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono di Nusa Dua, Bali, Kamis (16/3/2023).
Menurut dia, capaian tersebut membuat Indonesia sebagai pemain ekonomi digital yang signifikan di kawasan ASEAN.
Salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi digital di Tanah Air, lanjut dia, yakni menjamurnya perusahaan teknologi keuangan (fintech) yang mampu menciptakan efisiensi dan layanan keuangan yang mudah diakses.
OJK mencatat hingga Januari 2023, ada 102 perusahaan fintech yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman atau peer to peer lending (P2P) berizin.
Perusahaan P2P lending itu mempermudah proses pinjaman khususnya bagi debitur yang memiliki akses terbatas terhadap layanan perbankan tradisional.
"Dengan inovasi informasi dan teknologi, pencairan pinjaman bisa dilakukan cepat dan mudah," katanya.
Selain P2P Lending, lanjut dia, ada juga 97 Inovasi Keuangan Digital (IKD) hingga Januari 2023 tercatat di OJK dan diklasifikasikan dalam 15 model bisnis termasuk salah satunya penilaian kredit inovatif (ICS).
ICS menjadi salah satu nilai tambah dalam proses pencairan kredit khususnya kredit yang dicairkan cepat dan syarat yang sederhana salah satu di antaranya skema beli sekarang bayar kemudian atau Buy Now Pay Later (BNPL).
OJK mendorong adanya kombinasi antara lembaga penilaian kredit konvensional dengan ICS karena akan memberikan kualitas kredit yang lebih baik sekaligus memperluas cakupan realisasi pembiayaan khususnya bagi mereka yang selama ini belum mendapat akses perbankan.
Selama ini, penilaian lembaga kredit konvensional di antaranya terkait indikator riwayat atau histori pembayaran pinjaman dan utang yang belum lunas.
Sedangkan ICS memanfaatkan data besar atau Big Data mencakup hingga 15 variabel di antaranya aktivitas di media sosial hingga transaksi di lapak daring (e-commerce).
Keberadaan ICS akan menjadi salah satu terobosan bagi pelaku UMKM yang ingin mengakses kredit, belum memiliki akses kuat ke bank tapi sudah bergerak di e-commerce.
"Kami yakin 2023 dengan kondisi tumbuh normal, ekonomi Indonesia tumbuh baik, pada 2022 tumbuh 5,31 persen dan tahun ini saat krisis global, inflasi masih ada, tingkat suku bunga bank sentral dunia meningkat, geopolitik belum usai, tapi Indonesia tetap stabil dan bertumbuh," imbuh Ogi.