REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) disebut membawa sentimen negatif bagi perbankan di Amerika Serikat (AS). Krisis ini dikhawatirkan akan berdampak pada penarikan dana besar-besaran atau bank run di perbankan lainnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang, jatuhnya SVB juga akan berpengaruh pada pendanaan perusahaan rintisan atau startup. Investor akan cenderung lebih berhati-hati dan selektif untuk mendanai startup.
"Akan ada potensi penurunan dari sisi nilai. Dari historisnya, pendanaan akan semakin sulit ketika suku bunga naik seperti sekarang ini, di tambah sentimen negatif dari kejadian SVB ini," kata Josua, Senin (13/3/2023).
Meski demikian, menurut Josua, dalam jangka panjang investor akan kembali melihat fundamental ekonomi Indonesia. Pendanaan akan kembali masuk ke startup dalam negeri apabila investor menilai Indonesia masih prospektif.
Sejak berita penurunan kinerja SVB mencuat, investor mulai mengalihkan investasinya ke aset yang minim risiko sehingga mendorong pelemahan rupiah. Namun, sejak regulator AS mengumunkan akan menanggung dana deposan, rupiah pada Senin (13/3/2023) cenderung bergerak menguat hingga ke level Rp 15.300an.
"Yield obligasi juga cenderung menurun seiring sentimen risk-on yang menguat. Di jangka panjang, bila peristiwa ini tidak memicu krisis keuangan di AS, dampaknya terhadap aset-aset keuangan cenderung terbatas," jelas Josua.
Sementara itu, menurut Josua dampak dari bangkrutnya SVB secara umum belum akan mendorong pelemahan PDB Indonesia secara umum. Kondisi tersebut dikecualikan bila krisis perbankan ini menjadi pemicu lanjutan dari krisis global, seperti 2008.