Selasa 21 Feb 2023 18:26 WIB

Faisal Basri Ragukan Dugaan Kartel Migor, Salah Kebijakan?

Pemerintah seharusnya bisa membuat pasar lebih fleksibel.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Lida Puspaningtyas
Ekonom Senior Faisal Basri memaparkan penjelasan saat diskusi dan peluncuran buku Menuju Indonesia Emas di Jakarta, Senin (21/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ekonom Senior Faisal Basri memaparkan penjelasan saat diskusi dan peluncuran buku Menuju Indonesia Emas di Jakarta, Senin (21/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah yang kerap berubah dalam pengambilan kebijakan dinilai ikut berkontribusi terhadap kelangkaan pasokan dan kenaikan harga minyak goreng pada tahun lalu dan berujung pada dugaan kartel minyak goreng.

Ekonom Senior, Faisal Basri mengatakan, inkonsistensi kebijakan pemerintah terjadi saat itu. Salah satu kebijakan tersebut adalah penetapan harga eceran tertinggi (HET) justru menjadi penyebab minyak goreng sulit diperoleh oleh masyarakat.

Baca Juga

"Selain itu, pemerintah tidak memiliki instrumen untuk meredam harga minyak goreng yang pada akhirnya regulasi yang telah dihasilkan menjadi mandul. Karena melanggar kaidah-kaidah dalam mengambil keputusan,” ujar Faisal dalam keterangan tertulisnya diterima Republika.co.id, Selasa (21/2/2023).

Hal tersebut juga telah ia ungkapkan saat menjadi Saksi Ahli dalam persidangan Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia, dengan agenda pemeriksaan Ahli Terlapor, pada 17 Februari 2023, di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta.

Diketahui, dengan penetapan HET, pemerintah menjanjikan akan membayar selisih harga harga keekonomian dengan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

“Jadi, kebijakan subsidi hanya bertahan sekitar dua minggu kemudian dihapus, coba bayangkan satu botol migor disubsidi, uang BPDPKS akan habis untuk subsidi itu. Pemerintah tidak berkomitmen untuk mengalokasikan subsidi untuk minyak goreng karena memang uangnya tidak ada,” tegas Faisal.

Berbeda di Malaysia, tambahnya, ada voucher untuk pembelian minyak goreng yang dibagikan untuk keluarga yang pendapatannya di bawah 2.000 ringgit per bulan. “Sebenarnya, subsidi untuk barang tidak efektif, subsidi mestinya ditujukan kepada orang yang tidak mampu,” katanya menambahkan.

Menurutnya, subdisi itu harus dipertanggungjawabkan secara politik dan dibahas di parlemen dan jangan menambah preseden yang membuat tidak aman untuk anggaran.

Penggunaan dana BPDPKS harus benar-benar dihitung karena penggunaan dananya tidak melalui persetujuan DPR sehingga harus disiplin dalam setiap penggunaan anggaran.

Faisal juga mengingatkan KPPU agar berhati-hati dalam menyimpulkan adanya kartel yang dilakukan oleh produsen minyak goreng kemasan. Keseragaman kenaikan harga tidak serta merta menjadi bukti bahwa telah terjadi kesepakatan di antara produsen. Hal itu merupakan reaksi normal para pelaku usaha menyikapi kenaikan harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng.

“Kalau dilihat, dalam perkara ini terlapornya banyak sekali. Menurut saya, sulit untuk membuat kesepakatan yang melibatkan banyak pihak,” jelasnya.

Lebih lanjut, Faisal mengatakan prinsip dari teori mikro bagi perusahaan yang beroperasi sebagai produsen minyak goreng dalam jangka pendek akan terus berproduksi sepanjang masih bisa menutupi variable cost. Namun, sifatnya hanya sementara karena akan memengaruhi keuangan perusahaan.

“Tetapi, jika kondisinya berlangsung lama dan pada akhirnya harga di bawah total average cost, maka akan berhenti berproduksi atau exit. Berbeda, kalau dia (produsen) mempunyai alternatif (bisnis hilir) misalnya pabrik biodiesel, oleokimia, dan pabrik sawit. Maka akan dihitung jika pabrik minyak goreng tidak menguntungkan karena 80 persen bahan baku dari CPO karena harganya sensitif (naik turun) tetap berproduksi, " ujarnya.

Setelah, kebijakan subsidi harga minyak goreng tidak berhasil. Pemerintah mengubah kebijakan menjadi penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng untuk seluruh produk. Masalahnya, rentang waktu perubahan kebijakan ini terbilang singkat yang berakibat pelaku usaha harus beradaptasi dengan kebijakan baru.

Faisal menjelaskan kebijakan HET semula membuat harga minyak goreng baik kemasan dan non-kemasan (curah) menjadi sama. Imbasnya, masyarakat mengambil kesempatan dengan beralih dari minyak curah ke minyak kemasan.

Menurut dia, dari kacamata kebijakan publik pemerintah seharusnya bisa membuat pasar lebih fleksibel. Kebijakan pemerintah juga sebaiknya tidak berbentuk larangan atau bagi-bagi kuota.

“Intervensi pemerintah tidak boleh mengubah model bisnis. Nyatanya, lewat kebijakan DMO, pemerintah mewajibkan produsen sawit untuk memproduksi minyak goreng apabila ingin mengekspor. Padahal, belum belum tentu dia punya pabrik minyak goreng,” tegasnya.

Selain HET, kelangkaan minyak goreng kemasan juga disebabkan oleh masalah distribusi. Sebab, begitu peraturan HET dibatalkan, dalam waktu singkat barang tersedia lagi di pasar.

“Saya tidak ingin menuduh pihak mana pun karena saya tidak punya data. Bisa saja barang memang ditahan oleh distributor, sub distributor, atau agen. Namun, dengan waktu yang begitu singkat barang tersedia di pasar, sangat kecil kemungkinan itu dilakukan oleh produsen,” tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement