Senin 20 Feb 2023 15:29 WIB

Menanti Pembuktian Dugaan Praktik Shadow Banking Koperasi

Dugaan praktik shadow banking tengah mendapat sorotan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Menkop UKM Teten Masduki selepas bertemu dengan Kepala PPATK di Jakarta, Rabu (15/2/2023). Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan audit bersama guna mengantisipasi dugaan praktik pencucian uang yang dilakukan di koperasi.
Foto: Kemenkop UKM
Menkop UKM Teten Masduki selepas bertemu dengan Kepala PPATK di Jakarta, Rabu (15/2/2023). Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan audit bersama guna mengantisipasi dugaan praktik pencucian uang yang dilakukan di koperasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dugaan praktik shadow banking dalam bentuk tindak pidana pencucian uang di koperasi tengah mendapat sorotan. Kementerian Koperasi bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lantas membentuk audit bersama untuk mengecek koperasi-koperasi besar yang diduga melakukan penyimpangan.

Pengamat koperasi sekaligus Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM 2019-2021, Rully Indrawan mengungkapkan, dugaan shadow banking sebetulnya isu lama sejak tiga tahun yang lalu. Para pelaku koperasi pun bereaksi keras dan menolak anggapan itu.

Baca Juga

Rully, yang saat itu masih menjabat, mengatakan telah berupaya menengahi isu shadow banking dengan dilakukan pembuktian secara formal agar tidak membuat masyarakat bingung.

"Tiga tahun yang lalu berakhir dengan (dinyatakan) tidak ada shadow banking karena tidak ada bukti. Tapi itu tiga tahun lalu, saat ini bisa saja (benar) terjadi," kata Rully kepada Republika, Senin (20/2/2023).

Rully mencatat, pada periode 2018-2020 setidaknya ada 35 lembaga keuangan yang merugikan masyarakat. Dari jumlah itu, delapan di antaranya adalah koperasi. Oleh karena itu, praktik penyimpangan berupa pencucian uang untung mengeruk keuntungan pribadi di tubuh koperasi sangat mungkin terjadi.

Jika terbukti, Rully menilai itu bisa disebut sebagai kejahatan luar biasa karena koperasi membawa prinsip ekonomi kolaboratif, dijalankan bersama-sama di bawah pengawasan yang juga dilakukan bersama.

"Sangat mungkin ada, namun kalau ada persoalan melanggar aturan, harus dilihat dan di bawa saja ke ranah hukum. Bekukan asetnya sehingga tidak dialirkan kemana-mana," ujar dia.

Pasalnya, Rully menilai, isu shadow banking yang tengah mencuat terlalu melebar dan merugikan banyak pihak. Termasuk para koperasi yang selama ini beroperasi sesuai aturan. Di sisi lain, muncul stigma negatif terhadap koperasi di mata masyarakat.

"Jadi, jangan diomongin kemana-mana yang sudah menyimpang dari persoalan," kata dia.

Senada dengan Rully, pengamat koperasi, Suroto, mengatakan potensi praktik pencucian uang di koperasi bukan tidak mungkin. Hanya saja, ia sekaligus menyayangkan pernyataan PPATK yang menyebut ada dugaan pencucian uang sebanyak Rp 500 triliun di 12 koperasi sehingga menimbulkan kecurigaan terhadap seluruh koperasi di Indonesia.

Di sisi lain, Kemenkop UKM yang seharusnya menjaga reputasi dan kepercayaan anggota justru melakukan tindakan kontraproduktif dengan mengumumkan secara luas ke publik soal koperasi bermasalah. Suroto pun menilai, kasus gagal bayar koperasi yang terjadi dan berujung pada dugaan shadow banking justru terjadi karena kesalahan kebijakan dari pemerintah.

Banyak kebijakan yang dinilai tidak memberikan ruang bagi koperasi untuk berkembang, sementara perbankan diberikan berbagai macam fasilitas. "Pemerintah telah melakukan diskriminasi kebijakan terhadap lembaga koperasi sehingga koperasi banyak mengalami masalah termasuk gagal bayar," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement