REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Saat Pemerintah India meluangkan waktu menyusun kerangka peraturan komprehensif untuk mata uang kripto, para peneliti di Arab Saudi bergulat dengan masalah kripto yang lebih berbeda. Hal itu berkaitan dengan status halal dan haram mata uang kripto dalam investasi.
Terdapat hal yang tampaknya sama-sama dimiliki para cendekiawan Islam dan Pemerintah India adalah kekhawatiran seputar nilai intrinsik kripto. Selain itu juga mengenai potensi unsur judi yang melekat dalam investasi tersebut.
Dikutip dari The Print, Sabtu (4/2/2023), di depan India, survei ekonomi terbaru Kementerian Keuangan India yang dipresentasikan ke parlemen pada awal pekan ini menyebutkan, aset kripto tidak lulus ujian sebagai aset keuangan. Hal tersebut dikarenakan kripto tidak memiliki arus kas intrinsik yang melekat.
Saat ini Pemerintah India berhati-hati dalam mengatur mata uang kripto. Sementara itu, di negara-negara Islam seperti Arab Saudi, teka-teki utama adalah apakah investasi dalam mata uang kripto sesuai syariah atau tidak karena dapat disamakan dengan perjudian.
Zona merah lainnya terkait syariah adalah membebankan atau membayar bunga dan spekulasi ekonomi. Sementara berbagai cendekiawan atau ulama Islam telah mengeluarkan fatwa terhadap kripto selama beberapa tahun terakhir menjadi area abu-abu.
Seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer dan Informasi Universitas King Saud Shahad Z Al-Khalifa memiliki makalah penelitian pada November 2022 berjudul Crypto Halal: Sistem Keputusan Cerdas untuk Mengidentifikasi Crypto Currency Halal dan Haram. “Dari perspektif keuangan Islam, mata uang kripto menimbulkan banyak masalah di kalangan sarjana Islam mengenai kompatibilitasnya dengan syariah, terutama jika memenuhi persyaratan Islam untuk mata uang seperti nilai intrinsik,” kata makalah tersebut.
Dalam makalah tersebut, disebutkan pentingnya bagi keuangan Islam beradaptasi dengan perubahan modern. Selain itu juga membantu menyediakan produk dan layanan bagi umat Islam yang sesuai dengan syariah.
Al-Khalifa mengungkapkan, tujuan penelitian tersebut untuk menyelidiki dan mengidentifikasi fitur dan karakteristik yang berperan dalam menentukan keputusan yurisprudensi tentang mata uang kripto. Berdasarkan fitur-fitur yang teridentifikasi ini, sistem cerdas yang berisi model pembelajaran mesin dirancang untuk mengklasifikasikan mata uang kripto menjadi diperbolehkan atau dilarang.
Sistem pembelajaran mesin dirancang untuk membantu investor Islam membuat keputusan yang sesuai dengan syariah yang disebut Crypto-Halal. Makalah penelitian mengatakan sistem saat ini memiliki dataset 106 mata uang kripto yang 56 diantaranya telah diklasifikasikan halal dan 50 haram.
Di antara mata uang kripto utama, Bitcoin, Ethereum, dan Dogecoin termasuk dalam kategori halal. Sementara token Shiba Inu (SHIB), Alpha, dan PancakeSwap (CAKE) diberi label haram.
Untuk menggunakan CryptoHalal, pengguna harus memasukkan nama mata uang kripto. Nantinya, sistem akan memeriksa kecocokan di database mata uang kripto yang telah diklasifikasikan oleh peneliti sebagai haram atau halal.
Makalah tersebut mencatat, penting untuk memiliki sistem cerdas yang dapat membedakan antara kripto haram dan halal. Sebab, lebih dari 30 mata uang kripto baru muncul setiap bulan.
Untuk membedakan kripto halal dan haram, sistem dilatih untuk memutuskan berdasarkan 20 fitur yang biasa ditemukan dalam mata uang kripto. Klasifikasi tersebut berdasarkan kepada interpretasi dan keputusan seputar cryptocurrency yang ditemukan di saluran Telegram yang diawasi oleh ulama Islam.
Pemisahan kelompok kripto tersebut akan membantu dalam menentukan tingkat kepatuhan mata uang kripto terhadap syariah. Misalnya, jika sebagian besar fitur prioritas tinggi dalam mata uang kripto terpenuhi, maka kemungkinan besar akan haram dan jika tidak maka kemungkinan besar akan halal.