Rabu 18 Jan 2023 14:25 WIB

S&P: Harga Minyak Tinggi Bikin Penerbitan Sukuk Global Melambat

Penurunan diproyeksi terus berlanjut pada 2023 dengan emisiekitar 150 miliar dolar AS

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Proyek Dengan Biaya Sukuk. Pengerjaan proyek LRT di kawasan Cawang, Jakarta, Senin (25/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Proyek Dengan Biaya Sukuk. Pengerjaan proyek LRT di kawasan Cawang, Jakarta, Senin (25/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga minyak yang tinggi dilaporkan berpengaruh kepada penerbitan sukuk global. Dikutip dari Gulf Times, Selasa (17/1/2023), S&P Global mengungkapkan adanya proyeksi penerbitan sukuk yang melambat pada 2023, namun tidak berhenti.

S&P Global mencatat total penerbitan sukuk secara global turun menjadi 155,8 miliar dolar AS pada 2022. Diperkirakan penurunan akan terus berlanjut pada 2023 menjadi sekitar 150 miliar dolar AS.

Baca Juga

"Kami percaya likuiditas global yang lebih rendah dan lebih mahal, meningkatnya kompleksitas peraturan dan berkurangnya kebutuhan pembiayaan di beberapa negara inti keuangan Islam akan menahan pasar tahun ini," kata S&P mengutip negara-negara seperti Qatar dan UEA dalam laporannya.

Di tempat lain seperti Arab Saudi, S&P memproyeksikan beberapa korporasi akan menekan pasar sukuk karena sistem perbankan tidak akan mampu menyerap semua investasi. Pemerintah Saudi diharapkan terus menerbitkan sukuk dalam mata uang lokal untuk mengembangkan pasar modal lokal.

S&P Global Ratings percaya bahwa volume penerbitan sukuk akan terus menurun pada 2023 meskipun lebih lambat dari dibandingkan 2022. Secara umum, likuiditas global akan lebih rendah sehingga kupon akan lebih mahal, ada juga peningkatan kompleksitas, dan pengurangan kebutuhan pembiayaan emiten.

S&P yakin sukuk masih menjadi instrumen seperti ekuitas. Selain itu, selera investor dan emiten kemungkinan besar akan berkurang secara signifikan, khususnya di tengah likuiditas yang sudah mahal.

"Kami melihat faktor pendukung di daerah lain. Korporasi cenderung berkontribusi pada volume penerbitan, terutama di negara-negara dengan visi atau rencana transformasi pemerintah, seperti Arab Saudi," jelas S&P.

S&P juga melihat momentum lanjutan melalui transisi energi dan peningkatan kesadaran akan pertimbangan lingkungan, sosial, dan tata kelola di antara emiten di negara-negara keuangan Islam utama. Hanya saja, pasar sukuk tampaknya tertinggal dari pasar konvensional dalam hal otomatisasi dan penerbitan instrumen digital yang dapat mempercepat pertumbuhan.

S&P mencatat obligasi syariah lebih kompleks dan memakan waktu daripada yang konvensional. Untuk itu, emiten baru terutama mengambil jalur syariah karena berharap dapat meningkatkan basis investor dibandingkan dengan transaksi konvensional murni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement