REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah resmi menaikkan harga jual eceran dan tarif cukai per batang rokok. Adapun penetapan ini mulai 1 Januari 2023. Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menilai kebijakan menaikkan cukai rokok berpotensi memicu inflasi, terutama yang disumbang dari produk-produk tembakau.
"Meskipun kontribusinya bukanlah yang terbesar, namun sekali lagi di tengah kondisi inflasi yang sampai dengan akhir tahun kemarin relatif masih tinggi, tentu penambahan inflasi merupakan hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah," kata Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy ketika dihubungi Republika, Senin (2/1/2023).
Kendati demikian, Rendy menyebut kebijakan ini tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk menekan prevalensi konsumsi rokok di dalam negeri. Jika diperhatikan kebijakan ini sudah konsisten dijalankan pemerintah, setidaknya dalam 2-4 tahun terakhir untuk menangkal eksternalitas negatif dari konsumsi rokok.
Ia mengatakan kebijakan ini sifatnya untuk menangkal dampak eksternalitas negatif dari sebuah barang. Upaya ini merupakan upaya yang baik. Apalagi tahun ini upaya untuk menekan prevalensi konsumsi rokok tidak hanya dilakukan melalui menaikkan cukai saja.
"Tetapi juga melarang misalnya penjualan rokok batangan di warung-warung," ucapnya.
Rendy juga mengungkapkan kebijakan ini berpotensi menambah pundi penerimaan negara terutama dari pos cukai. Jika diukur dari pertumbuhan penerimaan cukai setidaknya dalam dua sampai tiga tahun terakhir ini.
Namun, tambahnya, yang perlu diingat target dari cukai untuk memberikan efek agar barang yang dianggap punya eksternalitas negatif tidak dikonsumsi lebih banyak. Sehingga seharusnya goal utama dari cukai bukanlah semakin bertambahnya penerimaan dari pos cukai.
Ketentuan harga jual eceran dan tarif cukai per batang itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot, dan tembakau iris.