REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, kini berubah nama menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Ini telah menjadikannya memiliki arah baru dalam kegiatan operasional guna memperkuat permodalan melalui alat-alat baru setelah disahkannya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Pengesahan dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Sidang Paripurna untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang PPSK menjadi undang-undang Kamis (15/12/2022).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, reformasi sektor keuangan menjadi prasyarat utama dalam membangun ekonomi Indonesia agar lebih dinamis, kokoh, mandiri dan berkeadilan.
Saat ini ada 17 UU tentang sektor keuangan berusia uzur, bahkan ada yang sudah melebihi 30 tahun, salah satunya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Oleh sebab itu, UU PPSK yang terdiri atas 27 Bab dan 341 Pasal dan disusun dalam bentuk omnibus law ini menjadi penting untuk menyesuaikan dengan dinamika perubahan zaman dan teknologi.
Martadinata, Direktur Utama PT BPRS Harta Insan Karimah (HIK) Parahyangan, menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 hal dalam UU PPSK yang memberikan alat-alat baru untuk keberlangsungan industri BPRS, yaitu keleluasaan transaksi BPRS, hak BPRS untuk mendapatkan dana dari publik, dan penempatan modal di lembaga pendukung BPRS.
"Ketiga alat-alat baru BPRS tersebut perlu diperkuat dalam aturan turunannya, yaitu Peraturan Bank Indonesia dalam hal aktivitas transfer dana dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan untuk ketiga alat-alat baru tersebut. Hal ini tentu akan meberi akselarasi baru bagi pertumbuhan BPRS ke depan," ujarnya melalui siaran pers, Jumat (16/12/2022).
Dia menuturkan, sebelumnya BPRS tidak diperkenankan bekerja sama dengan perusahaan switching dan perusahaan Pelaksana Jasa Pembayaran lainnya untuk memfasilitasi aktivitas transfer dana. Sebelumnya, BPRS hanya boleh bekerja sama dengan Bank Umum atau Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) saja.
Martadinata memaparkan, dalam UU PPSK, lalu-lintas pembayaran dalam dunia keuangan oleh BPRS menjadi lebih longgar. Penjabaran pada pasal operasional BPRS ditambahkan bahwa BPRS dapat melakukan aktivitas transfer dana. Pada ketentuan ini sudah tidak ada monopoli Bank Umum Syariah atau UUS sebagai mediatornya. BPRS dapat memilih perusahaan jasa pembayaran lainnya yang membantu aktifitas transfer dana tersebut.
Sementara itu, hak BPRS untuk mendapat modal dari publik dengan mekanisme pasar modal dalam UU PPSK telah sejalan dengan tuntutan salah satu BPRS dalam uji materi UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ke Mahkamah Konstitusi. Kendati tidak dikabulkan MK, tetapi akhirnya tuntutan ini dikabulkan oleh DPR dalam UU PPSK.
Selain itu, dalam UU PPSK BPRS juga diperbolehkan menempatkan modal di lembaga pendukung BPRS. Hal ini dalam penjelasan UU dinyatakan bahwa penempatan modal oleh BPRS diperbolehkan di lembaga yang mengatasi likuiditas dan lembaga yang mendorong pengembangan teknologi serta Lembaga sertifikasi.
"Kemampuan BPRS mengelola dana masyarakat terkecil sekalipun dapat dilakukan sebagaimana jaringan BPRS yang telah menyebar ke pelosok nusantara. Kemampuan BPRS yang tetap tumbuh dan bertahan dalam melewati berbagai masa krisis, mulai dari krisis 1998, 2002,2008, dan pandemi Covid-19 menunjukan bahwa industri Bank Perekonomian Rakyat Syariah cukup kuat."
Menurutnya, UU PPSK akan memberi pintu akses modal bagi Industri BPRS yang asetnya sudah hampir Rp20 Triliun. Satu persatu BPRS yang tumbang dapat diselamatkan dengan suntikan modal yang kuat dari publik. "Kemampuan BPRS untuk berkembang di dunia digital juga terakomodir dalam UU PPSK. BPRS dapat menempatkan modal pada lembaga penunjang yang mengembangkan teknologi bagi pertumbuhan BPRS sendiri."
Uji materi UU No. 21/2008 selama 23 Februari - 31 Oktober 2022 memang ditolak oleh MK pada Oktober 2022, tetapi 4 dari 5 tuntutan dalam judicial review tersebut akhirnya dikabulkan dalam UU PPSK.
"Ke depan, kondisi BPRS akan terus tumbuh dari 167 BPRS yang ada di seluruh pelosok nusantara. Keleluasaan transaksi akan membuat BPRS mampu mengoptimalkan transaksi keuangan di pelosok nusantara. Ini menjadi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan instrumen transaksi keuangan dan investasi. Literasi keuangan pun akan berkembang sampai pelosok negeri."
Menurutnya, tantangan selanjutnya adalah bagaimana regulator (BI dan OJK) memperjelas aturan turunannya sehingga menjadi katalis bagi pertumbuhan industri. "Peluang tidak akan diperoleh ketika semua pihak beranggapan kondisi BPRS saat ini cukup adanya. Persepsi berbagai pihak dapat menjadi ancaman bagi BPRS jika kondisi sekarang dianggap cukup."