REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Forum G20 Sustainable Vegetable Oils Conference (SVOC) menjadi jalan bagi negara-negara untuk memperluas kerja sama. Selain itu, memberikan rekomendasi berbagai langkah yang bisa diambil bagi negara-negara dan pemangku kepentingan untuk merancang rantai pasokan untuk mengatasi krisis pangan dan energi di masa depan.
Forum ini yang diselenggarakan pada 3 November lalu oleh Pemerintah Indonesia yang didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS), Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Untuk pertama kalinya, para pemangku kepentingan minyak nabati global terkemuka akan bertemu dalam konteks G20 untuk membahas tantangan saat ini, dan dengan tujuan memperkuat ketahanan dan keberlanjutan rantai produksi.
Konferensi G20 SVOC menghadirkan menteri pertanian dan komoditas dari negara-negara produsen utama (China, India, Rusia, Ukraina, serta Indonesia dan Malaysia), perwakilan organisasi internasional (yakni, Organisasi Pangan dan Pertanian, Program Pangan Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia) dan perusahaan multinasional besar, serta para petani, petani kecil, dan LSM untuk membahas tantangan-tantangan saat ini, dengan tujuan memperkuat ketahanan dan keberlanjutan rantai produksi. Momen ini akan menjadi kesempatan untuk berbagi mengenai potensi dan best practice, serta kesulitan dan bidang-bidang kritis yang akan ditangani oleh G20.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto menegaskan kembali pentingnya memastikan ketersediaan, aksesibilitas, dan keterjangkauan komoditas pertanian di pasar global, termasuk minyak nabati. "Kita perlu bergerak cepat dan tegas untuk bekerja sama dalam menghadapi isu-isu struktural pasar yang dapat memberikan dampak buruk", tutur Airlangga.
"Indonesia siap bekerja sama dengan pihak lain untuk memastikan bahwa kita semua berjalan dengan langkah yang sama dan adil dalam upaya global untuk mengatasi ancaman kelaparan dan kekurangan gizi saat ini,” ujar Airlangga.
Airlangga menyebutkan bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan pemimpin dalam produksi minyak nabati, terutama minyak kelapa sawit di dunia. Ketahanan pangan puluhan negara dan miliaran orang bergantung pada ekspor Indonesia. Dengan acara ini, pemerintah Indonesia berniat untuk menunjukkan kemampuannya dalam memandu berbagai rantai pasokan dan negara produsen menuju stabilitas ekonomi, lingkungan dan sosial.
Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia dan Malaysia telah menjadi investor utama dalam proyek-proyek yang bertujuan untuk menjaga keanekaragaman hayati dan memulihkan sumber daya hutan. Komitmen untuk menyelenggarakan konferensi ini selama G20 harus bertindak sebagai pendorong bagi industri global dan negara-negara produsen, terutama bagi puluhan juta petani kecil yang, melalui upaya mereka, berkontribusi untuk menjamin energi bagi dunia secara keseluruhan.
Melalui Konferensi Internasional G20 SVOC, dikatakan Airlangga, dapat menjadi forum dialog terbuka untuk membahas dan merumuskan strategi untuk menghadapi tantangan rantai pasokan minyak nabati global.
“Kita tahu bahwa minyak sawit telah menjadi minyak nabati yang paling efisien dan dapat memberikan jawaban atas krisis saat ini,” kata Airlangga.
Lebih rinci, Airlangga menjelaskan terkait beberapa keunggulan kelapa sawit antara lain, minyak sawit sangat efisien dalam hal penggunaan lahan, perkebunan kelapa sawit secara signifikan mendukung pencapaian SDGs karena perkebunan kelapa sawit mampu menyerap 64,5 ton CO2 per hektare per tahun dan dapat menghasilkan 18,7 ton oksigen per hektare per tahun.
Dalam forum ini hadir Menteri Pertanian dari beberapa negara seperti Indonesia, Tiongkok, India, dan Ukraina. Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian Indonesia menjelaskan bahwa semenjak 1980an penggunaan minyak nabati telah meluas ke berbagai segmen industri dan konsumen. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas minyak nabati yang sangat berkembang pesat. Indonesia penghasil minyak nabati telah menghasilkan 46,8 juta ton CPO dari 16,38 juta hektare perkebunan sawit yang tersebar dari Aceh sampai Papua.
“Peranan industri kelapa sawit belum tergantikan yang dapat terlihat dari berbagai aspek seperti penyerapan tenaga kerja sebanyak 16 juta orang dari 4 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta pekerja tidak langsung. Lalu kelapa sawit digunakan dalam program biodiesel sebanyak 9,6 juta kiloliter dan menghasilkan 1.829 MW dari 876 pabrik sawit,” ujarnya.
Syahrul menjelaskan bahwa pengembangan kelapa sawit Indonesia memenuhi pembangunan berkelanjutan melalui ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Sertifikasi ISPO terus diperkuat dari tahun ke tahun di Indonesia. ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dan menjadi instrumen dalam mewujudkan perkebunan sawit yang berkelanjutan sejak tahun 2011 melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).
Selanjutnya pada 2015 peraturan terkait sertifikasi ISPO diperbarui melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 11 tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit. Pada 2020, ISPO telah disempurnakan melalui Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2020 yang secara teknis pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 38 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Shobha Karandlaje, Menteri Pertanian dan Kesejahteraan Petani India, menekankan bahwa India yang memiliki populasi penduduk terbesar nomor dua di dunia sangat memperhatikan keamanan pasokan pangan dari aspek suplai dan gizi.
Menurutnya, produksi minyak nabati India berkontribusi sebesar 70% bagi kebutuhan di dalam negeri. Komoditas tersebut antara lain kacang tanah, rapeseed, kedelai, mustar, bunga matahari, dan castor.
“Lalu impor minyak nabati India mencapai 30% yang bersumber dari minyak sawit, minyak kelapa, cotton seed, rice bran, dan other oil. Komoditas ini diambil dari berbagai negara termasuk Indonesia. India termasuk importir minyak nabati terbesar di dunia sepanjang 2021-2022 volume impornya mencapai 14,7 juta ton yang diperkirakan senilai US$17,7 miliar,” ujarnya.
Shobha Karandlaje meminta supaya ada pengembangan benih minyak nabati termasuk sawit yang bersifat resiliensi terhadap perubahan iklim.”Dalam upaya peningkatan produktivitas melalui benih, diharapakan forum ini juga dapat membawa pertukaran pengetahuan dan informasi bagi negara-negara lain,” harapnya.
Wakil Menteri Pertanian dan Pedesaan, Republik Rakyat Tiongkok, Ma Youxiang menekankan bahwa Tiongkok sedang bertransisi ke pembangunan hijau dan mengatasi perubahan iklim melalui kolaborasi dengan negara lain menuju keberlanjutan di sektor minyak nabati.
Pembicara lain dari WTO, UN FAO, Program Pangan Dunia dan badan sertifikasi juga berbagi wawasan mereka. Beberapa hal yang diambil termasuk bahwa meskipun produksi dan distribusi beberapa minyak telah terganggu, yang lain telah turun tangan untuk menjamin ketahanan pangan dan energi. Banyak rantai pasokan minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit dan kacang kedelai, telah berhasil berinvestasi dalam inovasi dan keberlanjutan, mengurangi dampak pertanian dan sistem produksi terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem. Konferensi ini juga menyediakan platform untuk membahas perkembangan terbaru skema sertifikasi berkelanjutan untuk minyak sawit serta teknologi terbaru untuk memastikan ketertelusuran rantai pasokan minyak sawit.
Sekretaris Jenderal CPOPC Rizal Affandi Lukman menegaskan bahwa minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling terjangkau dan efisien. Oleh karena itu, minyak kelapa sawit dapat menjadi jawaban atas krisis minyak nabati yang disebabkan oleh kekurangan minyak nabati secara global dan krisis energi saat ini di Eropa, terutama penggunaan biofuel minyak kelapa sawit berkelanjutan sebagai sumber energi yang sangat dibutuhkan untuk musim dingin ini.
"CPOPC siap bekerja sama dengan negara-negara penghasil minyak nabati lainnya untuk membangun aliansi minyak nabati yang berkelanjutan di seluruh pemangku kepentingan global. Tujuan kita bersama adalah untuk menyediakan makanan dan energi yang sehat, bergizi dan terjangkau melalui rantai pasokan yang tangguh dalam menghadapi pertumbuhan populasi yang cepat," ujar Rizal.
Oleh karena itu, dalam semangat kebersamaan, konferensi ini dapat berfungsi sebagai jalan bagi negara-negara untuk memperluas kerja sama mereka dengan tujuan untuk membangun aliansi yang dipandu oleh kepentingan bersama, dan untuk memberikan rekomendasi berbagai langkah yang bisa diambil bagi negara-negara dan pemangku kepentingan untuk merancang rantai pasokan yang tangguh dan berkelanjutan untuk mengatasi krisis pangan dan energi di masa depan.