Jumat 04 Nov 2022 05:09 WIB

Pemulihan Ekonomi Berlanjut, Begini Prospek Obligasi Pemerintah

PDB kuartal III 2022 meningkat 5,6 persen yoy dibanding kuartal II.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
Suasana gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (12/10/2022). Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II termasuk yang terbaik di dunia yaitu 5,44 persen di mana hal itu berkaitan dengan inflasi nasional yang masih berada di level 5,9 persen per akhir September 2022, sedangkan negara lain sudah jauh di atas 10 persen dan bahkan ada yang mencapai 100 persen.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Suasana gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (12/10/2022). Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II termasuk yang terbaik di dunia yaitu 5,44 persen di mana hal itu berkaitan dengan inflasi nasional yang masih berada di level 5,9 persen per akhir September 2022, sedangkan negara lain sudah jauh di atas 10 persen dan bahkan ada yang mencapai 100 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memprediksi pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut tahun ini dengan prediksi pertumbuhan PDB Indonesia sepanjang 2022 akan mencapai 5,08 persen, lebih tinggi dari 3,69 persen pada 2021.

“Kami memperkirakan pemulihan ekonomi nasional berlanjut tahun ini, yang didukung mobilitas masyarakat dan konsumsi rumah tangga yang terus meningkat, terkendalinya Pandemi COVID-19, serta pertumbuhan ekspor yang sangat tinggi,” ujar Senior Economist Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, dalam Media Day by Mirae Asset Sekuritas, Kamis (3/11/2022).

Baca Juga

Dia memperkirakan pertumbuhan PDB kuartal III 2022 meningkat 5,6 persen yoy dibanding kuartal II 2022 yang dilevel 5,4 persen yoy. Hal ini turut ditopang surplus neraca perdagangan Januari-September 2022 yang sangat tinggi dan mencapai 39,9 miliar dolar AS dibanding total surplus neraca perdagangan 2021 35,4 miliar dolar AS, serta APBN periode Januari-September 2022 yang mencatatkan surplus Rp 60,9 triliun atau setara 0,33 persen terhadap PDB.

Perbaikan ekonomi domestik dan tingginya surplus neraca perdagangan tersebut, lanjut Rully, diharapkan dapat menopang pergerakan nilai tukar rupiah yang sempat mencapai Rp 15.600 per dolar AS dan tekanan terhadap harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN). Turunnya harga obligasi tersebut memicu kenaikan tingkat imbal hasil (yield) di pasar sekunder.

Menurut dia, tekanan pada nilai tukar rupiah dan pasar obligasi disebabkan oleh naiknya suku bunga kebijakan AS (Federal Funds Rate/FFR) yang cukup agresif tahun ini, mencapai 300 bps menjadi 3,25 persen hingga September. Besaran 100 bps setara dengan 1 persen.

Dia mengatakan kenaikan suku bunga acuan tersebut juga terjadi di dalam negeri di mana BI-7DRRR naik 125 bps hingga 4,75 persen untuk menyikapi tingginya laju inflasi. Inflasi September dibukukan 5,95 persen, tertinggi sejak Oktober 2015, setelah kenaikan harga BBM bersubsidi pada awal September.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement