Selasa 01 Nov 2022 22:07 WIB

Kontribusi ke Sektor Ritel, Aprindo Minta Pemerintah Lindungi IHT

Aprindo sebut revisi PP 109 terkait IHT perlu ada evaluasi terlebih dahulu

Petani merawat tanaman tembakau di desa Lam Aling, Kecamatan Kuta Cot Gle, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah melindungi industri hasil tembakau dari regulasi yang eksesif dan menekan. Sebab produk tembakau menyumbang penjualan signifikan terhadap sektor ritel.
Foto: ANTARA/AMPELSA
Petani merawat tanaman tembakau di desa Lam Aling, Kecamatan Kuta Cot Gle, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah melindungi industri hasil tembakau dari regulasi yang eksesif dan menekan. Sebab produk tembakau menyumbang penjualan signifikan terhadap sektor ritel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah melindungi industri hasil tembakau dari regulasi yang eksesif dan menekan. Sebab produk tembakau menyumbang penjualan signifikan terhadap sektor ritel.

Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, pemerintah harus berdaulat dan terbebas dari pengaruh pihak manapun dalam memutuskan kebijakan pertembakauan di Indonesia. Hal ini juga terkait rencana revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

"Berkaitan dengan revisi PP 109, perlu ada evaluasi terlebih dulu. Bukan berarti kita mengikuti tekanan, tetapi kita harus punya kedaulatan tersendiri untuk menentukan sikap kita di luar dari kepentingan yang tidak relevan dari tujuan kita dapat bertumbuh secara ekonomi," ujarnya, Selasa (1/11/2022).

Roy menjelaskan dalam menyusun kebijakan soal industri hasil tembakau pemerintah perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. Dari sisi kepentingan kesehatan, menurut Roy, aspek paling penting yang harus dilakukan adalah edukasi sejak dini. 

“Hambatan dari regulasi berupa kurangnya sosialisasi, sehingga implementasinya tidak maksimal. Aspek penting dari kesehatan berupa edukasi dan kurikulum perlu diberi tahu sejak dini, sehingga itu bisa membuat pencegahan secara dini," ucapnya.

Menurut Roy, dalam ekosistem industri hasil tembakau yang di dalamnya juga termasuk sektor ritel membutuhkan kepastian hukum dan kemudahan usaha dalam menjalankan tata niaga. Dalam implementasinya, pengusaha tidak antiregulasi selama kebijakan yang disusun tidak berbentuk pelarangan yang berpotensi mematikan ekosistem usaha.

"Kita harap kalau ada aturan, produktivitas industri tetap terjaga. Apalagi ada kepentingan investasi produsen, sehingga kita juga harus menjaga keberlangsungannya, jangan sampai drop," ucapnya.

Adanya regulasi yang berimbang juga memberikan perlindungan bagi konsumen. Terkait adanya wacana pelarangan total iklan rokok pada beleid tersebut, Roy menyebut, konsumen juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi mengenai produk dengan jelas dan membeli produk secara aman.

"Konsumen rokok memiliki hak untuk membeli barang. Sebagai masyarakat atau konsumen di gerai retail perlu kita lindungi ini bagian daripada konsumen rokok," katanya.

Sementara itu, pakar kebijakan publik Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) Riant Nugroho menambahkan pemerintah dapat berdaulat penuh dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan nasional. Dia juga melihat PP 109 yang saat ini berlaku sudah mengatur pertembakauan secara komprehensif dan menjadi titik temu berbagai kepentingan.

"PP yang sudah ada, sudah baik untuk kepentingan Indonesia. Jadi, dijalankan saja dulu, diimplementasikan sepenuh hati oleh semua pemangku kepentingan, tidak perlu diubah. Jika perlu, itu pun berupa evaluasi dan dievaluasi oleh tim independen profesional lintas bidang," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement