Senin 24 Oct 2022 13:31 WIB

Makro Ekonomi Baik, Sektor Properti Diyakini Tetap Prospektif

Antisipasi terhadap potensi resesi harus tetap dilakukan pelaku industri.

Pengunjung sedang melihat maket rumah dalam pameran properti di Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Pengunjung sedang melihat maket rumah dalam pameran properti di Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady optimistis sektor properti di dalam negeri tetap prospektif meski perekonomian global dibayangi ancaman resesi. Secara makro perekonomian nasional jauh lebih baik dibandingkan negara lain.  

"Jadi, menurut saya ancaman resesi memang ada tetapi dari potensi dan kekuatan struktur ekonomi Indonesia, kita masih bisa lebih baik dan mampu bertahan,” kata John di Jakarta, Senin (24/10/2022).

Sejumlah lembaga dunia, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan perekonomian global akan masuk jurang resesi pada tahun depan sebagai dampak dari kenaikan suku bunga dan inflasi yang akan memukul ekonomi.

IMF juga menurunkan proyeksi pertumbuhan global tahun depan hanya 2,7 persen dan memperingatkan terjadinya resesi jika para pembuat kebijakan salah menangani perang melawan inflasi.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memproyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,3 persen. Di sisi lain, dalam menghadapi potensi resesi, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) telah menerapkan berbagai strategi, mulai dari pengendalian inflasi dari sisi harga pangan, hingga secara perlahan-lahan menaikkan suku bunga acuan.

John mengatakan sektor properti akan tetap berpeluang mengalami pertumbuhan. Karena dari segi investasi, properti masih menjadi aset yang baik di tengah kondisi ekonomi saat ini. “Jika sektor properti bisa diselamatkan, saya yakin daya tahan ekonomi nasional menjadi lebih kuat,” ujarnya.

Ia menambahkan sejauh ini sektor properti menjadi salah satu sektor penyangga terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 13,6 persen. Selain itu, terdapat ekosistem industri yang sangat besar terkait sektor properti. Sedikitnya 175 jenis industri terlibat di sektor itu.

Dengan postur yang ada, sektor properti diyakini mampu menggerakkan roda perekonomian dan menjadi andalan pendapatan pajak pusat maupun daerah. “Karena itu penting bagi kami berupaya mengembangkan dan menyelamatkan sektor properti agar perekonomian nasional tetap tumbuh,” kata John.

John juga merespon positif langkah Bank Indonesia untuk melanjutkan kebijakan relaksasi rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit/pembiayaan properti maksimal 100 persen. Awalnya insentif itu akan berakhir akhir tahun ini, namun Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 Oktober lalu memutuskan untuk memperpanjang hingga akhir 2023.

“Perpanjangan insentif ini kami yakini akan mendorong penyaluran kredit perbankan kepada dunia usaha, sehingga memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian,” ujar John menjelaskan.

Di sisi lain, John menilai sektor properti telah menunjukkan daya tahan luar biasa selama pandemi. Daya resiliensi yang sama akan menjadi modal sektor properti melewati masa krisis. “Yang jelas, sektor properti akan tetap prospektif. Sebabnya, Indonesia masih memiliki kesenjangan kepemilikan perumahan, selain itu pertumbuhan kelas menengah yang kuat akan menjamin kesinambungan pertumbuhan permintaan tersebut,” kata John.

Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menyatakan Indonesia memiliki berbagai keunggulan untuk bertahan menghadapi ancaman resesi. Kehadiran kelas menengah yang secara demografi juga berusia muda merupakan mayoritas penduduk, telah memperkuat perekonomian nasional melalui konsumsi domestik.

Indonesia memiliki cadangan daya beli domestik cukup besar, terlebih lagi pembangunan infrastruktur kian membuat perekonomian semakin terintegrasi. “Adanya jalan tol lintas Jawa dan Sumatera yang dibangun sebelum pandemi membuat sisi permintaan dan produksi menjadi lebih terintegrasi,” katanya.

Faktor-faktor inilah yang menurut Ari membuat Indonesia jauh berbeda dari negara lain, termasuk Vietnam meskipun mempunyai pertumbuhan ekonomi sangat tinggi di kawasan. “Jadi Indonesia menjadi daerah yang menarik. Kalau ada pabrik perlu kelas menengah pekerja, lalu mereka butuh sekolah. Kalau sudah butuh sekolah, butuh perumahan, dan kalau butuh perumahan harus ada fasilitas pasar segala macam. Jadi itulah bedanya Indonesia misalnya dengan Vietnam, sebab dari sisi kelas menengah, Indonesia lebih banyak,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement