Jumat 21 Oct 2022 06:45 WIB

Kadin Ungkap Faktor Pengendalian Inflasi Jadi Beban Pengusaha

Stabilitas nilai tukar rupiah dan IHSG dipengaruhi oleh kondisi inflasi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Inflasi (ilustrasi)
Inflasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan, faktor pengendalian inflasi menjadi salah satu beban besar bagi pengusaha. Alasannya, stabilitas nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dipengaruhi oleh kondisi inflasi.

"Dari sisi eksternal terjadi karena tingginya ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan dolar AS dalam perdagangan atau impor," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta Widjaja Kamdani kepada Republika.co.id, Kamis (20/10/2022). 

Baca Juga

Faktor berikutnya yang memengaruhi nilai tukar rupiah dan IHSG, kata dia, yakni faktor spekulasi pasar, baik spekulasi di pasar modal atau pasar keuangan maupun spekulasi di sektor rill. Maka, kata dia, sangat penting bagi pemerintah agar mengeluarkan berbagai intervensi kebijakan yang sifatnya bisa memberikan kepercayaan diri bagi pelaku pasar terkait stabilitas ekonomi dan iklim usaha di Indonesia dalam jangka pendek dan menengah. 

Meski, lanjutnya, pemerintah mengatakan inflasi Indonesia masih tidak seburuk yang diperkirakan. "Risiko kenaikan inflasi dan pelemahan mata uang setidaknya masih akan tinggi hingga pertengahan tahun depan. Maka pemerintah justru perlu menciptakan leverage dan terus berkerja keras demi menciptakan pengendalian inflasi lebih baik," tutur Shinta.

Ia menuturkan, yang terjadi dlm dua sampai tiga bulan terakhir adalah, meski fundamental ekonomi Indonesia masih tergolong baik dan solid, namun inflasi hingga akhir bulan lalu sudah mencapai 5,95 persen year on year (yoy). "Ini sudah masuk kategori yang mengkhawatirkan pelaku usaha dan investor, karena ke depannya tekanan terhadap kenaikan inflasi masih terus besar," tegasnya.

Di sisi eksternal, lanjut Shinta, Indonesia mungkin tidak bisa berbuat banyak terkait suku bunga the Fed atau ketergantungan penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional. Itu karena, ini masalah semua negara yg disebabkan oleh fakta bahwa 80 sampai 90 persen transaksi global menggunakan dolar AS.

"Namun ini seharusnya dilihat sebagai pemicu bagi pemerintah agar memaksimalkan diversifikasi penggunaan mata uang (LCS dan currency swap) yang selama ini sudah diupayakan untuk perdagangan dan dalam konteks pelunasan utang-utang bilateral. Dengan demikian spekulasi pasar yang berdampak negatif terhadap pelemahan nilai tukar bisa diminimalisir," jelas dia.

Bagi pelaku usaha, tegas dia, kondisi ini sangat tidak mengenakkan. Hal itu karena, semua hal ini ada di luar kendali.

"Sementara kami tetapi kami berada dalam posisi harus mengambil keputusan untuk memastikan adanya survival dan kelancaran kegiatan usaha. Hal terbaik yang bisa kami lakukan pada saat ini adalah bracing for impact dengan cara meningkatkan efisiensi, memastikan kelancaran cashflow, kecukupan modal, dan lainnya," jelas Shinta.

Lalu bagi sektor usaha tertentu yang sudah terkena efek negatif lebih dulu seperti sektor mamin atau sektor transportasi/logistik, metode survival mereka sudah mengarah pada peningkatan harga jual pasar. "Kami perkirakan dalam jangka pendek 3 sampai 6 bulan akan ada semakin banyak sektor yang akan melakukan penyesuaian harga pasar karena ripple effect dari kenaikan harga BBM, seperti sektor perdagangan, manufaktur, dan lainnya," tutur dia.

Kadin, sambungnya, berharap pemerintah bisa membantu menciptakan keadaan kondusif, iklim usaha dan menciptakan berbagai stimulus fiskal maupun nonfiskal yang sifatnya efektif dalam meningkatkan efisiensi berbagai beban overhead usaha.

"Sekaligus menciptakan stimulus kredit yang affordable guna memastikan pertumbuhan usaha bisa terus maksimal, dan menciptakan buffer atau fall back plan dalam bentuk fasilitas restrukturisasi atau lainnya bila sewaktu-waktu perusahaan nasional mengalami kerugian karena kolaps rekan dagang atau investasi di luar negeri," tuturnya.

Berbagai hal tersebut, kata dia, perlu diperhatikan dan disiapkan kebijakannya karena fenomena pre-crisis di berbagai negara di dunia semakin bermunculan dan risiko dampak negatif terhadap krisis tersebut juga semakin tinggi. "Maka kita perlu lebih proaktif mengantisipasi potensi-potensi dampak negatif yang bisa terjadi. Jangan tunggu krisisnya terjadi dulu," tegas Shinta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement