Kamis 13 Oct 2022 10:11 WIB

IMF: 31 Negara Terancam Masuk Jurang Resesi!

IMF menyatakan 1/3 PDB dunia atau 31 negara alami kontraksi produk domestik

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Gedung Markas Besar Dana Moneter Internasional (IMF). Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi sebanyak 31 dari 72 negara mengalami resesi. Hal ini terjadi karena kontraksi dalam produk domestik bruto riil yang berlangsung selama dua kuartal berturut-turut.
Foto: EPA-EFE/SHAWN THEW
Gedung Markas Besar Dana Moneter Internasional (IMF). Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi sebanyak 31 dari 72 negara mengalami resesi. Hal ini terjadi karena kontraksi dalam produk domestik bruto riil yang berlangsung selama dua kuartal berturut-turut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi sebanyak 31 dari 72 negara mengalami resesi. Hal ini terjadi karena kontraksi dalam produk domestik bruto riil yang berlangsung selama dua kuartal berturut-turut.

"Terlihat di beberapa titik selama 2022-2023. Ada sekitar 43 persen ekonomi negara dengan perkiraan data kuartalan mengalaminya (resesi), yakni 31 dari 72 negara, lebih dari sepertiga PDB dunia," tulis IMF dalam laporan World Economic Outlook (WEO), dikutip Kamis (13/10/2022), 

Jika dibandingkan dengan proyeksi ekonomi yang dirilis IMF pada Juli lalu, angka tersebut meningkat cukup signifikan. IMF sebelumnya menjelaskan secara teknikal hanya ada sekitar 15 persen negara di dunia yang akan jatuh ke jurang resesi.

Resesi mengancam pertumbuhan ekonomi global pada tahun depan. IMF bahkan menurunkan proyeksi perekonomian global menjadi 2,7 persen pada 2023.

CEO JP Morgan, Jamie Dimon yang mengatakan Amerika Serikat dan dunia (termasuk Eropa) akan masuk dalam resesi. Khusus Amerika Serikat, kemungkinan resesi akan terjadi pada enam sampai sembilan bulan dari sekarang.

JP Morgan memperingatkan ancaman yang serius terkait kemungkinan ekonomi global jatuh dalam resesi pada pertengahan tahun depan. Perusahaan induk jasa keuangan asal Amerika Serikat itu pun mengatakan, ekonomi Amerika Serikat ‘sebenarnya masih baik-baik saja’, saat ini data konsumen cenderung berada dalam kondisi yang lebih baik dibanding krisis keuangan global 2008.

“Tetapi hal ini kita tidak dapat berbicara tentang ekonomi tanpa membicarakan hal-hal di masa depan, dan ini adalah hal yang serius,” ucap JP Morgan, Jamie Dimon.

Jamie menyebut, di antara indikator yang menjadi alarm ekonomi global merupakan dampak dari lonjakan inflasi yang tidak terkendali dan suku bunga yang naik lebih dari yang diharapkan. Belum lagi, perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement