REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Langkah pemerintah mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dengan melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) merupakan kebijakan yang tidak tepat dan keliru.
Apalagi pemerintah dinilai inkonsisten dalam menetapkan berbagai kebijakan, termasuk kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Hal itu mengemuka dalam acara “Diskusi Virtual: Minyak Goreng Sudah Terkendali, Masihkan DMO Sawit Dibutuhkan?” yang digelar Jumat (16/9/2022).
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyebutkan, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah, berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.
Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO terbukti menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama.
“DMO dan DPO ini adalah kebijakan destruktif yang menyebabkan turunnya ekspor. Penurunan ekspor itu menyebabkan turunnya pungutan pajak dan penerimaan negara, yang kemudian menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi. Ini tentu saja merugikan negara. DMO dan DPO itu tidak hanya merugikan pelaku usaha tetapi juga pemerintah karena penerimaan negara turun. Ini makin memperjelas pentingnya penghapusan kebijakan DMO dan DPO yang destruktif,” tutur Tungkot dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (17/9).
Hal senada juga diungkapkan oleh akademisi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha. Ia menyebutkan, DMO merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan agar ekspor CPO tercukupi. Namun, pemerintah tidak memiliki perhitungan yang detail sehingga DMO ini perhitungannya tidak jelas.
“Kenaikan harga minyak goreng disebabkan harga CPO yang kuantitasnya meningkat sehingga dibutuhkan kebijakan DMO. Itu merupakan suatu kebijakan yang dibuat berdasarkan dugaan mengenai suatu masalah. Tetapi, apakah hipotesisnya itu benar? Karena apabila tidak sesuai ekspektasi, akan merugikan perekonomian bagi masyarakat,” tutur Ketua LPEM UI itu.
Oleh karena itu, ia merekomendasikan agar kebijakan ini dihapuskan karena akan berpengaruh ke pasokan dan pertumbuhan ekonomi.
“Dari beberapa informasi, kelangkaan minyak goreng itu bukan disebabkan oleh tidak tersedianya CPO dalam negeri. Dengan demikian, pembatasan ekspor atau penghentian ekspor bukan merupakan kebijakan yang tepat,” ungkapnya.
Diketahui, kebijakan DMO dan DPO ini diterapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan selama lebih dari 6 bulan. Kebijakan non tariff barrier ini membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sejak kebijakan DMO dan DPO diberlakukan, dampak yang paling dirasakan adalah permintaan tandan buah segar (TBS) turun dan petani sawit mengalami kesulitan menjual TBS.
Hal ini, kata Eugenia, karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan.
“Karena terbukti inefisien, sebaiknya kebijakan DMO dan DPO dihapus. Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat,” kata Eugenia.
Pemerintah, saran Eugenia, dapat menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor dan bea keluar untuk mengendalikan volume ekspor CPO. Hasil pungutan ekspor CPO seharusnya dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali.
Menurut Eugenia, kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di pasar internasional.
Naiknya harga minyak goreng juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan.
Dalam penelitian LPEM UI 2022, Eugenia mengungkapkan penghentian ekspor 28 April – 22 Mei 2022 telah menurunkan Product Domestic Bruto (PDB) pada Q2 2022 sebesar 3%.
Pemerintah telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2022 adalah sebesar 5.45%. Apabila tidak ada penghentian ekspor, maka PDB triwulan II 2022 diperkirakan sebesar 3.009 triliun rupiah atau pertumbuhan ekonomi adalah 8.5%.