REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi tajam pada penutupan perdagangan Senin (22/8). IHSG jatuh 0,90 persen ke level 7.107,98 setelah sempat terpangkas lebih dari 1 persen pada sesi pertama.
Sektor teknologi memimpin pelemahan sebesar 2,75 persen dengan BUKA turun 5 persen disusul GOTO yang turun 4 persen. Keduanya pun masuk dalam jajaran top losers. Pergerakan IHSG juga tertekan penurunan sektor barang baku dengan INCO melemah 4 persen dan MDKA melemah 3 persen.
Phillip Sekuritas Indonesia mengatakan pergerakan IHSG sejalan dengan indeks saham di Asia sore ini yang ditutup variatif (mixed) dengan kecenderungan turun. Hal ini seiring dengan semakin kuatnya nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama di dunia di tengah kegelisahan mengenai pertumbuhan ekonomi global.
"Ketidakpastian global yang tinggi telah mendongkrak permintaan atas dolar AS sebagai aset berisiko rendah (safe haven) paling likuid," kata Phillip Sekuritas Indonesia dalam risetnya, Senin (22/8).
Pelonggaran kebijakan moneter di China justru menyoroti masalah di pasar propeti. Bank sentral China (PBOC) menurunkan suku bunga Loan Prime Rate (LPR) sebagai upaya untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Shanghai dan sejumlah kota besar lumpuh akibat kebijakan Lockdown Covid-19.
Para pejabat China sedang berusaha membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 2,5 persen YoY di Semester I 2022, tidak sampai setengah dari target pertumbuhan 5,5 persen tahun ini, tanpa meluncurkan paket stimulus ekonomi yang dapat memicu kenaikan inflasi atau melambungkan harga rumah.
Investor juga menantikan konferensi yang diselenggarakan oleh bank sentral AS ,Federal Reserve, minggu ini di Jackson Hole, Wyoming untuk mencari sinyal atau arahan mengenai kenaikan suku bunga acuan di AS. Notulen rapat Federal Reserve (Fed Minutes) dari pertemuan Juli lalu mempertegas rencana kenaikan suku bunga lebih lanjut meskipun aktivitas ekonomi mengalami perlambatan.
"Investor khawatir kenaikan suku bunga acuan secara agresif oleh Federal Reserve dan sejumlah bank sentral di Eropa dan Asia tahun ini akan mencederai pertumbuhan ekonomi global," kata Phillip Sekuritas Indonesia.