REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Wahyu Agung Nugroho mengatakan perubahan iklim merupakan agenda yang sangat penting bagi Indonesia, sehingga harus diatasi lantaran memiliki peran yang cukup signifikan untuk menjaga inflasi. "Dari angka inflasi beberapa bulan terakhir, sebenarnya salah satu penyebabnya adalah karena cuaca buruk di daerah sentra produksi komoditas pangan tertentu, termasuk cabai dan bawang merah di beberapa wilayah Indonesia," kata Wahyu dalam CGS-CIMB 14th Annual Indonesia Conference 2022 di Jakarta, Selasa (9/8/2022).
Maka dari itu, kondisi tersebut menjadi alasan nyata mengapa otoritas moneter sangat peduli dengan perubahan iklim. Ia berpendapat perubahan iklim akan menjadi lebih buruk jika seluruh negara, termasuk Indonesia, tidak segera mengambil tindakan tegas dan konsisten untuk mengurangi cuaca global yang tidak menguntungkan.
Seperti diketahui, belakangan ini suhu global kian meningkat dan menyebabkan bencana material yang lebih sering dan lebih buruk, termasuk Indonesia. Implikasinya, bencana alam yang terjadi pun menyebabkan masalah produksi khususnya di bidang pertanian.
Wahyu menjelaskan secara teknis perubahan iklim global dapat dibagi menjadi risiko fisik dan risiko transisi. Risiko fisik adalah gangguan produksi dan distribusi akibat cuaca ekstrim dan bencana alam lainnya.
Sementara risiko transisi merupakan risiko yang melekat dalam perubahan strategi, kebijakan, atau investasi saat masyarakat dan industri bekerja untuk mengurangi ketergantungan pada karbon dan dampaknya terhadap iklim."Keduanya akan menciptakan ancaman pada ketidakstabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan," ungkapnya.
Mengetahui berbagai risiko yang ada, bank sentral di seluruh dunia termasuk Indonesia khususnya, terus berusaha bekerja keras dalam agenda perubahan iklim bersama-sama. Dia menyadari jika perubahan iklim dibiarkan terus berlanjut, maka Indonesia akan menjadi salah satu negara yang paling menderita dari perubahan iklim global.
Untuk situasi seperti ini, Indonesia sebenarnya telah berpartisipasi dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon dengan meratifikasi kesepakatan Paris dalam mengurangi emisi karbon sebesar hingga 41 persen pada 2030. "BI mendukung upaya ini dan kami menekankan bahwa proses transisi ke ekonomi lokal harus dilakukan dengan lancar karena proses transisi ini akan lama, serta tidak akan mudah. Salah satunya tentang bagaimana kita membiayai proses transisi ini ke periode ekonomi rendah karbon atau dalam terminologi transisi harus adil dan terjangkau," tegas Wahyu.