REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Situasi ekonomi dunia tengah masuk dalam tren inflasi tinggi termasuk di Indonesia. Sejak Juni 2022, laju inflasi tahunan telah mencapai 4,35 persen atau di atas dari asumsi pemerintah 3 plus minus 1 persen.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, masyarakat saat ini harus dapat lebih memahami kondisi inflasi yang terjadi. Sebab, laju inflasi akan berkaitan langsung dengan pergerakan harga-harga barang di tingkat konsumen.
"Dalam situasi seperti sekarang, mau tidak mau masyarakat harus melakukan prioritas belanja barang pokok. Belanja yang bisa ditunda, ya ditunda," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Ahad (31/7/2022).
Yusuf tak menampik, laju inflasi yang kian tinggi sedikit banyak akan mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga. Di mana, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama produk domestik bruto (PDB) nasional dari sisi pengeluaran.
Situasi ini pun semestinya mendapat respons dari pemerintah. Sejauh apa kemampuan pemangku kebijakan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam menghadapi lonjakan inflasi. Terutama mereka yang masuk dalam kategori kelas menengah ke bawah.
Lebih lanjut, ia menilai, tren kenaikan inflasi saat ini di satu sisi memang menunjukkan hal positif karena kenaikan harga dipengaruhi oleh naiknya permintaan. Ekonomi masyarakat tahun ini dinilainya sudah jauh lebih baik dari tahun-tahun awal pandemi di mana mobilitas sangat terbatas.
Tapi di satu sisi tetap memberikan tekanan kepada kelompok masyarakat tertentu. "Terutama kepada mereka masyarakat yang berjuang untuk mengembalikan daya belinya seperti kondisi pra-pandemi," katanya.
Pada Senin (1/8/2022), Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data-data inflasi sepanjang bulan Juli 2022. Yusuf pun memproyeksi inflasi bulanan melandai ke level 0,58 persen mtm sedangkan inflasi tahunan kembali meningkat menjadi sekitar 4,8 persen.
Kenaikan harga-harga komoditas pangan pokok masyarakat menjadi pemicu utama kenaikan inflasi saat ini.