Jumat 22 Jul 2022 17:43 WIB

Kebijakan Tahan Suku Bunga Dinilai Tepat, Rupiah Menguat di Akhir Pekan

Analis nilai pasar melihat kebijakan suku bunga memperlihatkan BI cermat dan terukur

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas menghitung uang dolar AS di BNI KC Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (21/7/2022). Nilai tukar rupiah di pasar spot berakhir di level Rp 15.014 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat (22/7). Mata uang garuda itu menguat 0,15 persen dari Rp 15.037 per dolar AS pada perdagangan kemarin. Keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,5 persen dinilai tepat. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan kebijakan moneter BI tersebut justru dapat menjaga stabilitas pergerakan rupiah.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Petugas menghitung uang dolar AS di BNI KC Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (21/7/2022). Nilai tukar rupiah di pasar spot berakhir di level Rp 15.014 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat (22/7). Mata uang garuda itu menguat 0,15 persen dari Rp 15.037 per dolar AS pada perdagangan kemarin. Keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,5 persen dinilai tepat. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan kebijakan moneter BI tersebut justru dapat menjaga stabilitas pergerakan rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,5 persen dinilai tepat. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan kebijakan moneter BI tersebut justru dapat menjaga stabilitas pergerakan rupiah.

Nilai tukar rupiah di pasar spot berakhir di level Rp 15.014 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat (22/7). Mata uang garuda itu menguat 0,15 persen dari Rp 15.037 per dolar AS pada perdagangan kemarin.

"Mempertahanakan suku bunga merupakan langkah yang tepat dengan mengacu kepada tujuan utama yaitu menjaga stabilitas rupiah, mengendalikan inflasi, ditambah untuk menjaga momentum pertumbuhan," kata Ibrahim, Jumat (22/7). 

Menurut Ibrahim, orientasi kebijakan moneter BI yang masih dovish merupakan sebuah kebijakan yang cermat dan terukur di tengah tekanan eksternal yang kuat karena dampak geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina, disrupsi rantai pasokan global, risiko stagflasi, dan lonjakan inflasi dunia.

Ibrahim melihat, langkah BI mempertahankan kebijakan dovish cukup beralasan melihat inflasi inti yang masih dalam jangkauan, cadangan devisa yang kuat, serta surplus neraca dagang yang konsisten didukung harga komoditas ekspor yang tinggi. 

Kondisi ini jauh berbeda dengan negara lainnya. Orientasi kebijakan bank-bank sentral di AS, Korea Selatan, Eropa, Inggris, Australia, hingga Kanada cenderung lebih ketat atau hawkish. Mereka menaikkan suku bunga acuan mengikuti lonjakan inflasi yang tinggi dan berpotensi terkena resesi.

Sementara Indonesia, menurut Ibrahim, berada pada arah yang berbeda dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi di sekitar 5 persen. Beberapa alasan menjauhkan Indonesia dari resesi antara lain, penanganan covid-19 yang tepat sehingga mencegah penurunan ekonomi yang terlalu dalam.

"Meski menghadapi efek perang Rusia di Ukraina, Indonesia tetap mencatat pertumbuhan yang positif yaitu diatas 5 persen dengan inflasi 4 persen. Pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dengan baik," kata Ibrahim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement