REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, BPR Syariah perlu mengadopsi teknologi. Hal itu karena ada perubahan perilaku masyarakat.
"Kita lihat dari sisi demand-nya, kenapa digitalisasi dengan perkembangan informasi yang cepat. Mereka generasi muda lebih sering dengan gadget dibandingkan generasi baby boomer, nggak sedemikian dengan gadget, tapi anak muda nggak bisa lepas," ujar Direktur Direktorat Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK Nyimas Rohmah dalam seminar di Jakarta, Kamis (14/7).
Saat pandemi melanda, kata dia, akselerasi digital semakin meningkat kebutuhannya. Ia melanjutkan, dari sisi bisnis perbankan sendiri pun menghadapi isu persaingan usaha.
"Jadi yang dapat layani masyarakat tidak hanya BPR dan BPR Syariah. Bisa juga fintech lending, layanan keuangan digital, laku pandai dan skema kredit ultra mikro lainnya, jadi persaingan semakin ketat," katanya.
Di sisi lain, lanjut dia, BPR syariah masih didominasi dengan BPR Syariah ukuran kecil. Padahal menurutnya, BPR Syariah sangat berperan bagi perekonomian.
Otoritas pun, tutur Nyimas, harus bebenah. "Lakukan perizinan dan pengawasan dan harus koordinasi dengan aturan perundang-undangan lain," ujar dia.
Ia menegaskan, penguatan permodalan BPR Syariah sangat penting. Meski setiap tahun ada peningkatan, namun ia mengungkapkan, dari 165 total BPRS, sekitar 32,1 persen atau 60 BPRS masih memiliki modal inti di bawah Rp 6 miliar.
"Diharapkan tahun ke depan bisa dipertimbangkan. Soalnya modal sangat penting utk perbaiki kualitas SDM, peningkatan skala usaha, lalu untuk akselerasi digital lakukan inovasi produk," jelasnya.