Senin 06 Jun 2022 21:30 WIB

Bio Farma Butuh Tujuh Tahun Kembangkan 24 Bahan Baku Obat Domestik

Bahan baku obat masih impor karena lebih murah ketimbang memproduksi sendiri.

Rep: ANTARA/ Red: Fuji Pratiwi
Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir. PT Bio Farma Persero membutuhkan waktu selama tujuh tahun memproses pengembangan 24 jenis bahan baku obat dalam negeri untuk diolah menjadi produk farmasi.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir. PT Bio Farma Persero membutuhkan waktu selama tujuh tahun memproses pengembangan 24 jenis bahan baku obat dalam negeri untuk diolah menjadi produk farmasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bio Farma Persero membutuhkan waktu selama tujuh tahun memproses pengembangan 24 jenis bahan baku obat dalam negeri untuk diolah menjadi produk farmasi.

"Kalau dari target kita untuk merealisasikan 24 bahan baku obat dalam negeri sekitar tujuh tahun, sejak dimulai pada 2016," kata Direktur Utama PT Bio Farma Persero Honesti Basyir yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin (6/6/2022).

Baca Juga

Hingga saat ini, kata Honesti, Bio Farma selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang berbisnis di bidang farmasi telah menggelontorkan investasi sekitar Rp 150 miliar untuk mendirikan pabrik produksi bahan baku obat domestik. Pemanfaatan dana investasi itu diperuntukkan membangun fasilitas produksi bahan baku obat di Delta Silicone 1 Lippo Cikarang, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang kini dikelola oleh PT Kimia Farma Sungwun Pharmachopia.

Dari total luas lahan 12 hektare di kawasan itu, sebagian telah berdiri fasilitas produksi bahan baku obat dalam negeri berupa povidone iodine. Povidone iodine sebagai bahan baku produk cairan pembersih luka antiseptik atau yang umum dikenal dengan nama obat merah. Povidone iodine sebelumnya didatangkan oleh industri farmasi domestik dari China untuk kebutuhan produksi di dalam negeri menjadi produk Betadine dan sejenisnya.

Menurut Honesti sebanyak 12 dari total 24 bahan baku obat dalam negeri, saat ini telah berhasil diproduksi Bio Farma untuk kebutuhan farmasi di dalam negeri. Sebanyak 24 bahan baku obat dalam negeri yang dikembangkan Bio Farma di antaranya Simvastatin, Atorvastatin, Clopidogrel, Efavirenz dan Entecavir.

"Area produksi ada 12 hektare untuk kami bikin 24 bahan baku obat, 12 di antaranya sudah selesai menggunakan bahan baku dalam negeri sesuai dengan prioritas kebutuhan katalog elektronik pemerintah," kata dia.

Katalog elektronik tersebut merupakan media pemasaran produk farmasi yang dibeli oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memasok obat-obatan ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan dalam negeri. Honesti mengatakan pengembangan fasilitas produksi 24 bahan baku obat dalam negeri yang ditargetkan rampung dalam tujuh tahun, sempat terkendala oleh situasi pandemi Covid-19.

"Tapi kan ada pandemi, kami dorong terus. Komitmen kami sudah berjalan sejak awal, tidak mungkin kami mundur," katanya.

Honesti berharap, peran Bio Farma dalam pengembangan 24 jenis bahan baku tersebut dapat menekan angka ketergantungan impor Indonesia yang saat ini masih berada di kisaran 90 persen lebih. "Mengapa bahan baku obat Indonesia 90 persen lebih masih impor?  Karena industri farmasi di Indonesia berpikir lebih murah beli bahan baku impor daripada berinvestasi dalam negeri," ungkap dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement