REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK), Isma Yatun, menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021 kepada Ketua DPR awal pekan ini. IHPS II Tahun 2021 merupakan ringkasan dari 535 laporan hasil pemeriksaan (LHP), terdiri atas 3 LHP Keuangan, 317 LHP Kinerja, dan 215 LHP Dengan Tujuan Tertentu.
IHPS II Tahun 2021 ini juga menyajikan hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan, penyelesaian ganti kerugian negara/daerah, dan pemanfaatan hasil pemeriksaan investigatif, penghitungan kerugian negara, dan pemberian keterangan ahli.
BPK mengungkap 4.555 temuan yang memuat 6.011 permasalahan sebesar Rp 31,34 triliun dalam pemeriksaan BPK di semester II tahun 2021. Permasalahan yang diungkapkan terdiri dari 3.173 permasalahan berkaitan dengan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan (3E) sebesar Rp 1,64 triliun. 1.720 permasalahan merupakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp 29,70 triliun.
Sementara 1.118 permasalahan terkait kelemahan sistem pengendalian intern (SPI). Dalam permasalahan 3E, 95,9 persen atau 3.043 permasalahan merupakan ketidakefektifan sebesar Rp 218,56 miliar, 127 permasalahan ketidakhematan sebesar Rp 1,42 triliun, dan 3 permasalahan ketidakefisienan sebesar Rp 1,59 miliar.
IHPS II Tahun 2021 juga memuat hasil pemeriksaan tematik atas dua prioritas nasional sesuai Rencana Kerja Pemerintah tahun 2021, yaitu penguatan ketahanan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia. “Pemeriksaan tematik terdiri atas 256 pemeriksaan kinerja dan 38 pemeriksaan DTT Kepatuhan yang dilaksanakan pada 35 objek pemeriksaan pemerintah pusat, 256 objek pemeriksaan pemerintah daerah, dan 3 objek pemeriksaan BUMN. Dalam pemeriksaan tematik ini, BPK mengungkap 2.427 temuan dengan 2.805 permasalahan sebesar Rp20,23 triliun,” jelas Isma Yatun.
Hasil pemeriksaan prioritas nasional penguatan ketahanan ekonomi mengungkap permasalahan antara lain: pertama, kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan pada Kemendagri belum seluruhnya dirumuskan dan ditetapkan sesuai UU Cipta Kerja dan turunannya; serta kedua, mekanisme verifikasi dan sistem informasi pengelolaan permohonan belum dapat menjamin kelayakan penerima insentif perpajakan PC-PEN.
Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum memiliki fungsi koordinasi yang terpusat dalam pengelolaan insentif atau fasilitas perpajakan.
Sementara hasil pemeriksaan prioritas nasional pembangunan SDM mengungkap permasalahan antara lain: pertama, bantuan program kartu prakerja kepada 119.494 peserta sebesar Rp 289,85 miliar pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terindikasi tidak tepat sasaran, karena diterima oleh pekerja/buruh yang memiliki gaji/upah di atas Rp 3,5 juta; dan kedua, alokasi vaksin COVID-19, logistik, dan sarana prasarananya belum sepenuhnya menggunakan dasar perhitungan yang sesuai dengan perkembangan kondisi dan atau analisis situasi terbaru, data yang valid, akurat dan mutakhir, serta kurangnya koordinasi dengan pemda dan kementerian/lembaga lain yang terlibat.
IHPS II Tahun 2021 ini juga memuat hasil pemeriksaan keuangan, kinerja, dan DTT yang tidak termasuk dalam kelompok pemeriksaan prioritas nasional. “Penting kami tekankan bahwa, BPK terus berupaya keras untuk mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang efektif, akuntabel, dan transparan sesuai ketentuan perundang-undangan dan praktik internasional terbaik,” tegas Isma Yatun.
Sejak 2005 hingga 2021, BPK telah menyampaikan 633.648 rekomendasi hasil pemeriksaan sebesar Rp 305,84 triliun kepada entitas yang diperiksa. Hasil pemantauan atas tindak lanjut rekomendasi tersebut menunjukkan sebanyak 490.014 rekomendasi sebesar Rp156,10 triliun telah sesuai, 105.193 rekomendasi sebesar Rp 100,15 triliun belum sesuai, 31.709 rekomendasi sebesar Rp27,89 triliun belum ditindaklanjuti, dan 6.732 rekomendasi sebesar Rp21,70 triliun tidak dapat ditindaklanjuti.