REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengungkapkan kenaikan harga komoditas seperti crude palm oil (CPO) dan minyak mentah menjadi beban bagi anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Hal ini disebabkan pemerintah harus menanggung risiko kenaikan belanja subsidi energi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan APBN harus hadir untuk menjamin terjadinya kenaikan harga fluktuatif bagi kepentingan rakyat.
“Konteks komoditas harga crude, minyak bumi, memang memberatkan bagi kita, kenapa? Karena harga Pertalite, bahan bakar, biasanya kami usahakan tidak terlalu bergejolak volatile di SPBU. APBN harus siap absorb risiko ini, dalam konteks APBN menjadi shock absorber,” ujarnya saat webinar Macroeconomic Update 2022, Senin (4/4/2022).
Kendati demikian, Febrio menyebut kenaikan harga komoditas dapat menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Tercatat harga CPO mencapai 1926,9 dolar AS per ton atau setara Rp 27.678.473.
Menurut Febrio tingginya harga CPO dan batu bara menjadi sumber tambahan likuiditas perekonomian Indonesia. “Biasanya tahun komoditas ini tinggi kita biasanya menikmati transmisinya dari tambahan likuiditas yang terjadi dari tingginya harga komoditas, itu akan mengalir ke sektor perbankan, dan konsumsi,” ucapnya.
Febrio menyebut kenaikan harga komoditas yang tinggi tersebut dapat mendorong para petani untuk melakukan konsumsi atau berbelanja, sehingga, dana pihak ketiga (DPK) perbankan diharapkan bisa mulai menurun.
“Itu akan menyalurkan lagi dana pihak ketiga perbankan kita yang selama dua tahun tumbuh tinggi di atas 10 persen. Saat ini kami prediksi ada Rp 600-Rp700 triliun dana pihak ketiga yang bisa dibilang menumpuk di perbankan,” ucapnya.
Sementara itu, Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai kebijakan kontrol harga, salah satunya penetapan harga eceran tertinggi (HET) terhadap komoditas bahan pangan dan energi tidak efektif.
“Price control dimana-mana tidak akan bisa jalan. Itu adalah the first lesson of economics. Jangan coba melakukan price control kalau harga di-set di bawah harga produksi. Barangnya hilang!,” ucapnya.
Menurutnya kondisi inilah yang terjadi beberapa waktu lalu ketika pemerintah memberlakukan kebijakan HET terhadap harga minyak goreng di tengah kelangkaan pasokan. Dia menuturkan negara-negara seperti Polandia, Amerika Latin telah belajar dari kebijakan ini.
"Itu yang menjelaskan mengapa HEY kemarin, barangnya hilang, minyak gorengnya,” ucapnya.
Chatib menilai langkah pemerintah sudah benar dengan mencabut HET dan memberikan bansos dalam bentuk bantuan langsung tunai. "Kenapa saya katakan benar karena beban BLT lebih kecil dari subsidi dari seluruh barang," lanjutnya.
Jika BBM atau minyak gorengnya disubsidi, maka kelompok kaya juga menikmati. Dari hitungannya, jika penyaluran BLT dinaikkan menjadi 40 juta rumah tangga, pemerintah hanya menghabiskan Rp 12 triliun per bulan.
"Bayangkan itu extreme. Itu lebih dari 60 persen penduduk Indonesia dikasih bantuan langsung tunai,” ucapnya.